JAKARTA, KOMPAS.com - Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat 147 serangan digital yang terjadi sepanjang 2020.
Mayoritas serangan di dunia maya tersebut menyasar kelompok yang sering menyampaikan kritik, yakni akademisi, jurnalis dan aktivis.
"Sepanjang 2020, kami temukan 147 insiden serangan digital. Sebanyak 85 persennya tertuju kepada kelompok kritis. Salah satunya teman-teman akademisi," ujar Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto dalam diskusi bertajuk Kebebasan Ekspresi, Hukum, dan Dinamika Perkembangannya, Selasa (14/4/2021).
Baca juga: Akademisi Sebut Pembungkaman Kritik di Era Jokowi Makin Kompleks
Sementara itu, Damar menuturkan, jurnalis kerap mengalami doxing atau pembongkaran serta penyebaran data pribadi. Sedangkan aktivis mengalami peristiwa yang jauh lebih buruk.
Damar mencontohkan, dalan konteks kasus Papua, sejumlah aktivis mengalami pengambilalihan akun media sosial oleh pihak yang tidak dikenal.
Ada pula yang mendapat kiriman makanan yang tidak pernah dipesan dari aplikasi ojek online.
"Ini situasi yang tidak pernah terjadi di periode-periode (pemerintahan) sebelumnya," kata Damar.
Dalam kesempatan yang sama, Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Herlambang P Wiratraman mengatakan, pembungkaman terhadap kritik kepada penguasa saat ini semakin kompleks.
Baca juga: Serangan Digital di Era Jokowi: Pelanggaran Hak Berpendapat dan Pembungkaman Kritik
Kini upaya pembungkaman cenderung berupa serangan digital, misalnya doxing atau pembongkaran serta penyebaran data pribadi. Di sisi lain, upaya sensor, persekusi dan pemenjaraan juga masih terjadi.
"Sementara kalau hari ini kompleks. Seiring dengan perkembangan teknologi, cara membungkam kritik terhadap penyelenggara kekuasaan bukan dengan ditutup aksesnya tetapi diserbu lewat informasi yang tidak relevan," ucap Herlambang.
Dengan kata lain, Herlambang menegaskan, pembungkaman kritik di era digital juga dapat dilakukan dengan memproduksi hoaks. Semakin kompleksnya pembungkaman media juga berpengaruh pada kemunduran demokrasi Indonesia.
Herlambang mencontohkan saat ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono menyampaikan kritik atas pengembangan obat Covid-19. Setelah itu akun media sosial Pandu diretas.
Kemudian, kasus yang dialami mahasiswa Universitas Gadjah Mada dan narasumber dalam studi konstitusi terkait pemberhentian presiden.
Baca juga: Amnesty: Peretasan Situs Tempo dan Pandu Riono Serangan terhadap Kebebasan Berekspresi
"Yang jadi tanda tanya, mulai dari panitia, penyelenggara diskusi bisa sampai berhenti dan dibubarkan dengan serangan-serangan digital," kata Herlambang.
"Bahkan mereka menerima teror dalam bentuk ada yang mengirim makanan menggunakan ojek online padahal tidak dipesan, didatangi orang-orang tidak jelas, digedor-gedor," lanjutnya.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.