JAKARTA, KOMPAS.com – Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid menilai, jika tak ada pengungkapan, pengakuan kesalahan, dan pertanggungjawaban pelaku bukanlah sebuah rekonsiliasi dalam penanganan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat
Hal itu disampaikan Usman menanggapi upaya pemerintah yang sedang mempersiapkan Unit Kerja Presiden terkait Penanganan Pelanggaran Ham Berat (UKP-PPHB) yang disebut fokus pada penanganan non yudisial atau tanda melalui jalur hukum.
Usman meminta, sebelum UKP PPHB disahkan, terlebih dulu harus dijelaskan mekanisme non-yudisial yang dimaksud oleh pemerintah dan DPR.
“Rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran, tanpa pengakuan kesalahan, tanpa pertanggungjawaban pelaku, bukanlah rekonsilasi," jelasnya dihubungi Kompas.com, Senin (12/3/2021).
Baca juga: Pemerintah dan DPR Diminta Merinci Arti Penanganan Non-Yudisial dalam Kasus HAM Berat
"Jadi pemerintah dan DPR harus terlebih dulu menjelaskan apa yang dimaksud dengan pendekatan non-yudisial,” tambahnya.
Menurut Usman, penyelesaian secara non-yudisial adalah pendekatan yang dilakukan untuk menjawab problem keadilan yang tidak didapatkan oleh korban pada proses yudisial.
Upaya non-yudisial bukan dilakukan karena pelaku pelanggaran HAM berat tidak bisa dihukum.
“Tetapi lebih karena penghukuman itu tidak cukup memberi keadilan akibat kompleksitas kejahatan dan kerusakan yang ditimbulkan. Jadi pendekatan non-yudisial dan yudisial dalam standar internasional memliki maksud keadilan,” sebut Usman.
Baca juga: Komnas HAM Diminta Bikin Terobosan, Selesaikan Kasus HAM Masa Lalu secara Non-yudisial
Pada prosesnya, lanjut Usman, proses non yudisial juga mesti dilakukan dengan melakukan pencarian, pengungkapan, dan pengakuan atas kebenaran.
“Baik kebenaran factual tentang peristiwa maupun kebenaran sejarah di balik peristiwa pelanggaran HAM. Pendekatan non-yudisial juga harus menjunjung tinggi keadilan, bukan untuk menutup jalan keadilan,” imbuhnya.
Usman mengatakan, pada proses non-yudisial dengan memulihkan atau memperbaiki hak harus melihat bahwa ada hak yang rusak atau dihilangkan.
Proses yudisial dan non-yudisial, papar Usman, mesti berjalan beriringan. Tidak bisa mekanisme non-yudisial dalam penanganan kasus pelanggaran HAM berat tidak dilakukan bersama dengan pembuktian secara yudisial atau melalui jalur hukum.
“Adanya tindakan perusakan dan penghilangan itu juga mengandaikan adanya subyek yang merusak dan menghilangkan. Nah apakah kita sudah tahu? Dari mana dasarnya? Di titik inilah kita perlu proses pencarian dan penemuan kebenaran,” imbuhnya.
Menurut Usman pemerintah harusnya memulihkan kondisi kejiwaan korban pelanggaran HAM berat di masa lalu. Pemulihan korban tidak hanya bersifat material, tapi juga emosional.
“Kalau pendekatannya didahului dengan pemulihan kondisi-kondisi material, bahkan dengan nilai yang sangat rendah, maka itu bisa diartikan sama dengan menyangkal fakta kejahatan dan kekejian penguasa negara di masa lalu,” pungkas Usman.
Sebagai informasi pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) sedang mempersiapkan Rancangan Peraturan Presiden tentang pembentukan UKP PPHB.
Direktur Instrumen Kemenkumham Timbul Sinaga mengatakan fokus dari UKP PPHB adalah melalui pendekatan non yudisial dalam penanganan pelanggaran HAM berat.
Mekanisme non yudisial yang akan dilakukan pemerintah adalah memenuhi hak-hak dasar korban pelanggaran HAM berat.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.