JAKARTA, KOMPAS.com – Praktik gratifikasi kerap melibatkan pejabat negara di Indonesia.
Biasanya, gratifikasi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi terkait pemberian kepada pejabat dengan imbalan tertentu, misalnya mendapatkan proyek pemerintah.
Akan tetapi, pemberian kepada pejabat negara tidak melulu dianggap gratifikasi dan tindak pidana korupsi, selama mengikuti aturan dan ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penerimaan gratifikasi harus dilaporkan pada KPK dalam kurun waktu 30 hari kerja sejak gratifikasi diterima.
Baca juga: Mengenal Gratifikasi: Definisi, Dasar Hukum dan Tata Cara Pelaporannya
Lebih dari itu, praktek ini dapat dikenakan dipidana dengan ancaman penjara minimal 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta.
Menurut penjelasan pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya.
Selain urusan pidana, dalam kasus korupsi juga dianggap bertentangan dengan ajaran agama.
Lalu bagaimana agama memandang gratifikasi? Berikut paparannya:
Menurut Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tindakan gratifikasi tidak dibenarkan dalam Islam.
Hal ini disampaikan Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya PBNU, Rumadi Ahmad.
Baca juga: Apa Saja Kriteria Gratifikasi yang Tak Perlu Dilaporkan kepada KPK?
Menurut dia, jika gratifikasi diartikan secara luas sebagai sebuah pemberian pada seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, maka ada beberapa istilah dalam Islam yang memiliki kedekatan arti dengan tindakan tersebut.
"Beberapa istilah dalam Islam yang mempunyai kdekatan arti dengan gratifikasi antara lain risywah (rasuah) atau suap. Dalam Islam, penyuap dan yang disuap sama-sama diancam dengan api neraka (ar-rasyi wal murtasyi fin nar)," kata Rumadi kepada Kompas.com, Minggu (11/4/2021).
Rumadi menyebut dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama NU tahun 2012, tindakan gratifikasi, atau hibah yang diterima pejabat negara hukumnya haram.
"Di samping melanggar sumpah jabatan yang diucapkan, juga di dalamnya mengandung unsur risywah dan bisa bermakna korupsi (ghulul) dan mengkhianati amanat rakyat," tuturnya.
Baca juga: Dari Anas Urbaningrum, Nazaruddin, hingga Nurhadi, Deretan Kasus Gratifikasi yang Jadi Sorotan
Menurut Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Agustinus Heri Wibowo, gratifikasi berpeluang untuk menjadi tindak pidana korupsi, yang tentu saja bertentangan dengan agama.
Sebab, gratifikasi sangat mungkin dilakukan untuk mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri atau orang tertentu dengan merugikan orang lain melalui penyalahgunaan wewenang.
Dalam pandangan Katolik, hal itu diatur pada kitab Keluaran Ayat 23: 8 yang berisi larangan menerima suap karena akan memutarbalikkan perkara orang-orang yang benar.
Baca juga: Cara Melaporkan Gratifikasi, Proses di KPK dan Sanksi bagi Penerima
"Di balik mencuri dan suap, ada hal yang lebih mendasar yaitu seseorang mengkhianati kepercayaan, mempermainkan kebenaran dan mencemari kesucian," ujar Heri kepada Kompas.com, Selasa (6/4/2021).
Heri melanjutkan, dalam Katolik pemberian yang baik adalah pemberian yang berdasarkan asas kasih dan kebaikan.
Hukum kasih itu, sambung Heri, ada pada ajaran Yesus Kristus dalam Markus 12: 30-31 yang berisi, kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu.
Heri menilai praktik gratifikasi bertentangan dengan hukum kasih yang diajarkan oleh Yesus, karena memiliki semangat dasar untuk mencari keuntungan pribadi.
Baca juga: Saat KPK Sebut Singapura Surganya Para Koruptor, Respons, dan Permintaan Maaf
"Maka jelas gratifikasi adalah melawan hukum kasih. Karena tidak mengasihi Allah dengan melawan perintahnya yaitu jangan mencuri dan mengurangi hak orang," ucap Heri.
"Lalu juga tidak mencintai sesama seperti diri sendiri, karena gratifikasi dasarnya adalah rakus untuk mencari keuntungan sendiri, bukan semangat berbagi untuk mengusahakan kebaikan dan kesejahteraan bersama," tuturnya.
Pada ajaran Kristen, tindakan gratifikasi tidak dibenarkan karena dianggap dapat membuatakan orang bijaksana dan mengubah keadilan.
Ketua Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) Pendeta Albertus Patty menyebutkan, hal itu tertulis dalam Kitab Keluaran 23:8, yang berbunyi:
"Suap janganlah kauterima, sebab suap membuat buta mata orang-orang yang melihat dan memutarbalikkan perkara orang-orang yang benar."
Patty menjelaskan, meski tidak ada ajaran spesifik dalam Kristen terkait dengan gratiifikasi, namun tindakan ini dinilai sebagai satu tindakan suap.
"Memang ridak ada istilah gratifikasi dalam Kristen. Yang ada adalah dilarang menerima suap. Tetapi saya anggap yang dibilang gratifikasi kepada seseorang pejabat pada dasarnya,” tuturnya.
Selain itu larangan untuk menerima suap dan gratifikasi juga ada pada Kitab Ulangan 16:19 yang berbunyi:
"Janganlah memutarbalikkan keadilan, janganlah memandang bulu, dan janganlah menerima suap, sebab suap membuatakan mata orang-orang bijaksana dan memutarbalikkan perkataan orang-orang yang benar."
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.