Menurut Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Agustinus Heri Wibowo, gratifikasi berpeluang untuk menjadi tindak pidana korupsi, yang tentu saja bertentangan dengan agama.
Sebab, gratifikasi sangat mungkin dilakukan untuk mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri atau orang tertentu dengan merugikan orang lain melalui penyalahgunaan wewenang.
Dalam pandangan Katolik, hal itu diatur pada kitab Keluaran Ayat 23: 8 yang berisi larangan menerima suap karena akan memutarbalikkan perkara orang-orang yang benar.
Baca juga: Cara Melaporkan Gratifikasi, Proses di KPK dan Sanksi bagi Penerima
"Di balik mencuri dan suap, ada hal yang lebih mendasar yaitu seseorang mengkhianati kepercayaan, mempermainkan kebenaran dan mencemari kesucian," ujar Heri kepada Kompas.com, Selasa (6/4/2021).
Heri melanjutkan, dalam Katolik pemberian yang baik adalah pemberian yang berdasarkan asas kasih dan kebaikan.
Hukum kasih itu, sambung Heri, ada pada ajaran Yesus Kristus dalam Markus 12: 30-31 yang berisi, kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu.
Heri menilai praktik gratifikasi bertentangan dengan hukum kasih yang diajarkan oleh Yesus, karena memiliki semangat dasar untuk mencari keuntungan pribadi.
Baca juga: Saat KPK Sebut Singapura Surganya Para Koruptor, Respons, dan Permintaan Maaf
"Maka jelas gratifikasi adalah melawan hukum kasih. Karena tidak mengasihi Allah dengan melawan perintahnya yaitu jangan mencuri dan mengurangi hak orang," ucap Heri.
"Lalu juga tidak mencintai sesama seperti diri sendiri, karena gratifikasi dasarnya adalah rakus untuk mencari keuntungan sendiri, bukan semangat berbagi untuk mengusahakan kebaikan dan kesejahteraan bersama," tuturnya.