Kemudian adu kuat itu diyakini sebagai rangkaian alur hukum alam yang lumrah. Pada titik inilah biasanya asal muasal lahirnya aliran paham politisme sempit.
Pemahaman politik yang mengalami reduksi dengan ditandai kecenderungan melepaskan politik dari hukum.
Politisme sempit tidak memiliki kepekaan terhadap segala kemungkinan yang dihasilkan dari setiap gesekan perbedaan kepentingan.
Pendekatan yang selalu digunakan adalah kekuasaan, yaitu pengerahan segala kemampuan demi pengontrolan dan pendisiplinan liyan (the others).
Dalam konteks itu, demokrasi sebagai sistem politik yang menjungjung tinggi kebebasan, tentunya tidak bisa hidup ‘tumaninah’ jika keberadaannya terninabobokan dalam pangkuan politisme sempit.
Bila meminjam peribahasa Sunda, politik tanpa hukum itu “kawas kuda leupas tina gedogan” (seperti kuda lepas dari kandangnya). Artinya, bingung dengan kebebasan, kemudian gelap mata mengejar keinginan dengan nafsu besar, karena tidak ada yang membatasi.
Dengan pribahasa Sunda tersebut politik seolah menjadi ruang bebas tanpa kendali. Sebaliknya, hukum akan tampak vakum atau hampa manakala unsur-unsur keadiluhungan politik dikesampingkan.
Hukum dipahami hanya sebatas urusan peraturan perundang-udangan tertulis dan prosedur persidangan di lembaga pengadilan.
Ketika rasa keadilan dan kepentingan umum dalam masyarakat jauh dari proses perumusan dan penegakan peraturan, maka hukum itu akan kerdil. Di titik inilah asal muasal lahirnya aliran paham legisme yang rigid.
Paham yang menghendaki tegaknya hukum formil semata, hitam-putih, yang belum tentu bisa menjamin tergapainya subtansi hukum.
Padahal ketergapaian subtansi hukum adalah tujuan paling utama dari hukum itu sendiri. Bahkan saking utamanya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD pernah mengungkapkan bahwa boleh langgar konstitusi (prosedural) demi kepentingan rakyat (subtansial).
Di sini kepentingan rakyat, seperti keselamatan, sesungguhnya adalah hukum tertinggi (salus populi suprema lex esto).
Tentu pemerintah bukan lembaga hukum sebagaimana lembaga pengadilan, namun dengan taat aturan, seperti mengeluarkan keputusan perihal prahara PD sesuai hukum administrasi, berarti pemerintah telah menjalankan semangat atau prinsip-prinsip pengadilan.
Segala tindak-tanduknya hanya untuk menebar kepastian dan keadilan bagi segenap warganya yang beragam kepentingan. Ini teladan bagi keberlanjutan dan kewibawaan Indonesia sebagai negara hukum, bukan negara kekuasaan belaka.
Di atas semua itu, baik politik maupun hukum sebenarnya acap kali mengonsepsikan dirinya melalui kebaikan bersama (banum commune).