SERANGAN bom bunuh diri yang menyasar gereja katedral di Makassar, Sulawesi Selatan, mengingatkan kita bahwa jaringan teroris membaur dalam masyarakat, dan mereka mungkin ada di sekitar kita.
Meningkatkan kewaspadaan penting, tetapi lebih penting ikut menanggulangi terorisme karena ini merupakan masalah kita bersama. Sebagai anggota masyarakat, kita bisa menggunakan pendekatan pendidikan, keagamaan dan kebudayaan.
Pelibatan berbagai elemen masyarakat dalam mencegah ekstremisme yang mengarah pada terorisme merupakan salah satu poin utama dalam Perpres No 7/2021 yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo pada 6 Januari 2021.
Baca juga: Kapolri: Polisi Tangkap Lebih dari 30 Terduga Teroris Terkait Bom di Makassar
Perpres ini sebetulnya bisa menjadi embrio bagi lahirnya aksi bina damai bersama antara pemerintah dan masyarakat. Akan tetapi, belum tampak bentuk kerja sama yang kongkret dan holistik untuk menginisiasi aksi tersebut.
Pada Minggu, 28 Maret 2021, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh bom bunuh diri di pintu gerbang Katedral Hati Kudus Yesus di Makassar, Sulawesi Selatan. Serangan yang menyebabkan 20 warga terluka ini dilakukan oleh pasangan suami istri, yang, menurut Polri, merupakan anggota jaringan teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Serangan bom bunuh diri tersebut diduga sebagai aksi balas dendam terhadap aparat karena pada 6 Januari 2021, 20 rekan mereka di Makassar digerebek aparat Densus 88, dan dua di antaranya ditembak mati.
Kelompok yang mendukung khilafiah dan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) ini telah diintai sejak lama karena mereka aktif menggelar kajian, latihan dan rekrutmen.
Jumlah penangkapan anggota kelompok teroris menurun sejak 2019, menurut laporan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia. Lembaga think tank ini mencatat, ada 228 operasi penangkapan pada 2020, menurun dari 275 penangkapan pada 2019 dan 396 pada 2018.
Baca juga: [HOAKS] Bom di Makassar Dikendalikan Remote
Akan tetapi, angka tersebut masih lebih tinggi dari pada angka jumlah penangkapan sebelum pengesahan UU No 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Aparat melakukan 176 operasi penangkapan pada tahun 2017 dan 163 penangkapan pada 2016.
Dari Januari hingga Maret 2021, ada 57 operasi penangkapan, dan jumlahnya mungkin akan terus meningkat setelah teror bom bunuh diri di gereja Katedral Hati Kudus Yesus, Makassar.
Teror bom yang menyasar gereja terjadi pertama kali pada tahun 1967 di Surabaya, Jawa Timur, tetapi yang terbesar terjadi pada saat perayaan malam natal pada tahun 2000 di sepuluh kota, mulai dari Medan, Jakarta hingga Mataram.
Teror yang terjadi secara serentak tersebut menyebabkan 96 orang terluka dan 16 orang meninggal, dan pada Mei 2018, 43 orang terluka dan 13 orang meninggal akibat teror bom bunuh diri yang juga terjadi hampir serentak di tiga gereja di Surabaya.
Sejak 2000 hingga 2021, setidaknya ada 13 teror bom yang menyasar gereja di Indonesia.
Baca juga: BIN Sebut Motif Pelaku Bom di Makassar, Salah Satunya Balas Dendam
Radikalisme yang mengarah pada terorisme disebabkan oleh berbagai faktor yang kompleks, seperti kesenjangan ekonomi, lemahnya penegakan hukum dan konflik yang berkepanjangan. Selain itu, faktor diskriminasi dan marginalisasi juga ikut berperan.
Untuk memutus rantai terorisme, pemerintah perlu melakukan dua hal.