JAKARTA, KOMPAS.com - Varian baru virus Corona bernama E484K ramai diperbincangkan publik menyusul laporan adanya 70 persen pasien di rumah sakit di Tokyo, Jepang, yang terinfeksi virus Corona varian E484K itu.
Mengutip Kantor Berita Reuters, mutasi ini ditemukan pada 12 dari 36 pasien dalam kurun waktu dua bulan terakhir.
Semua pasien diketahui tidak pernah bepergian ke luar negeri atau berkontak dengan pasien yang diketahui memiliki varian virus semacam ini.
Baca juga: Mutasi Virus Corona E484K Eek Muncul di Jepang, Lebih Berbahaya?
Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito memberikan penjelasan atas varian baru tersebut.
Dia mengungkapkan, varian E484K merupakan hasil mutasi dari varian B.1.1.7.
"Mutasi E484K itu yang terjadi pada protein spike adalah mutasi yang sama seperti ditemukan pada varian Afrika Selatan dan Brasil," ujar Wiku dalam keterangan resmi secara virtual melalui YouTube Sekreteriat Presiden yang dikutip pada Senin (5/4/2021).
Wiku juga membenarkan bahwa varian baru ini memiliki kemampuan lebih cepat untuk menular berdasarkan berbagai penelitian terkini.
Menyikapi kondisi terbaru ini, Wiku menegaskan, pemerintah akan meningkatkan pengurutan genom atau whole genome sequencing agar dapat memetakan varian Covid-19 apa saja yang masuk ke Indonesia.
"Sambil juga mempertahankan proses screening pada saat WNA atau WNI masuk ke Indonesia," kata dia.
Baca juga: Mutasi Covid-19: Varian Eek Ditemukan pada Sebagian Besar Kasus Positif Corona di Tokyo
Wiku juga meminta masyarakat tidak bosan mematuhi protokol kesehatan dalam setiap aktivitas yang dilakukan.
Kepatuhan menjalankan protokol kesehatan ini, menurut dia, merupakan upaya mencegah penularan Covid-19 dengan varian-varian baru.
Diberitakan sebelumnya, Lawrence Young, ahli virologi dan profesor onkologi molekuler di Universitas Warwick, Inggris mengatakan, mutasi E484K dapat melemahkan respons imun dan memengaruhi umur dari respons antibodi penetral.
"Jadi, varian B.1.1.7 yang membawa mutasi E484K mungkin lebih berdampak lebih parah ketika seseorang terinfeksi ulang," ujar dia.
Sejumlah penelitian lain menunjukkan, vaksin yang beredar saat ini belum terbukti bekerja optimal pada mutasi Eek ini.
Dikutip dari BMJ, uji klinis oleh Novavax dan Johnson & Johnson menunjukkan, vaksin baru mereka kurang efektif di Afrika Selatan dibandingkan dengan di Inggris atau Amerika Serikat.
Baca juga: Varian Baru Covid-19, Mutasi Ganda Virus Corona Ditemukan di India
Hal ini diprediksi ada kaitannya dengan tingginya virus yang membawa mutasi E484K.
Meski demikian, Novavax juga melaporkan 60 persen kemanjuran vaksinnya di Afrika Selatan, sehingga ada peluang untuk dilakukan desain baru agar lebih sesuai dengan kebutuhan.
Sementara itu, Tim Oxford AstraZeneca sedang memperbarui vaksin agar lebih efektif melawan mutasi tersebut, salah satu opsinya berupa penguat dosis terbaru dan akan dirilis ke pasaran tiap tahun.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.