Gelombang radikalisme di berbagai negara Muslim juga bisa terjadi karena rasa solidaritas global atau ungkapan perasaan senasib yang menimpa umat Islam di berbagai negara seperti Palestina, Kashmir, Afghanistan, dan Iraq.
Di sisi lain, Ayzumardi Azra mengatakan bahwa radikalisme bisa terjadi di berbagai belahan dunia manapun (termasuk di Indonesia) salah satunya sebagai respons dari otoritarianisme. Misalnya, di Era Orde Baru, wacana gerakan Islam sebagai common enemy terus dibangun untuk melanggengkan hegemoni militeristik.
Fenomena ini juga muncul sebagai penolakan terhadap westernisasi dan modernisasi yang dianggap telah membuat sebagian besar negara-negara Timur kalah dalam kompetisi global sehingga radikalisme diambil sebagai jalan keluar untuk lepas dari jeratan hegemoni Barat.
Selain itu, publikasi media pers Barat yang kerap melakukan framing negatif terhadap umat Islam di dunia, khususnya pascatragedi pengeboman WTC 9/11 juga berperan dalam membangkitkan radikalisme di negara-negara Timur.
Fakta miris dari sejumlah tindakan terorisme di Indonesia adalah keterlibatan perempuan dan kelompok muda serta anak-anak dalam aksi bom bunuh diri seperti dalam tragedi Bom Surabaya 2018 lalu yang melibatkan satu keluarga (suami-istri dan empat anak).
Prof Musda Mulia dalam artikelnya Perempuan dalam Gerakan Terorisme menjelaskan bahwa tindakan terorisme di Indonesia terus mengalami perkembangan dalam hal pelakunya. Aksi teror bom bunuh diri banyak melibatkan perempuan dalam beberapa tahun terakhir.
Alasan pelibatan perempuan dalam gerakan terorisme sangatlah beragam. Hal ini dikarenakan mereka bisa melakukan banyak peran antara lain sebagai educator (pendidik) keluarga untuk perpanjangan ideologi, agen perubahan, pendakwah, pengumpul dana, penyedia logistik, hingga pelaku bom bunuh diri.
Tidak hanya itu, kelompok muda (pelajar/mahasiswa) juga kerap menjadi sasaran perekrutan kelompok radikal. Usia muda yang identik dengan pancarian jati diri dan ketidakstabilan emosi kerap dimanfaatkan untuk menginfiltrasi ideologi radikal kepada kaum muda.
Baca juga: BIN: Milenial Target Utama Kelompok Terorisme
Selain itu, kelompok muda yang berada dalam garis kemiskinan juga merupakan salah satu alasan utama mereka bergabung dengan organisasi radikal sehingga jihad diambil sebagai jalan pintas untuk mengakhiri penderitaan.
Radikalisme yang berujung pada tindakan terorisme terbukti telah menghancurkan banyak negara. Jika hal ini tidak dicegah sejak awal, Indonesia akan tercerai-berai. Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat harus saling bekerjasama untuk melawan dan mencegah tumbuhnya paham-paham radikal.
Berikut adalah beberapa hal yang dapat dilakukan untuk melawan radikalisme dan terorisme:
1. Pemerintah melalui Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melakukan pemantauan secara ketat terhadap dunia pendidikan termasuk pihak-pihak sekolah yang berpontensi menyebarkan paham yang bertentangan dengan ideologi negara.
2. Karena radikalisme beroperasi dalam tataran ideologis, penguatan ideologi Pancasila dan pengetahuan sejarah Indonesia yang multikultural harus gencar disuarakan di masyarakat, khususnya kepada generasi muda.
3. Penghapusan stigma dan perangkulan kepada mereka yang telah terpapar ideologi radikal untuk kembali kepada masyarakat dan setia kepada ideologi negara, hal ini penting untuk bersama-sama melawan radikalisme supaya tidak ada lagi korban.
4. Pemuka agama dari dua organisasi Islam besar Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah harus gencar menyuarakan ajaran Islam rahmatan lil alamin yang membawa pesan perdamaian di masyarakat, terutama di lingkungan sekolah.
5. Pemerintah terus melakukan penerapan hukum secara tegas terhadap pelaku teror dan organisasi yang bertentangan dengan ideologi negara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.