JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai penghentikan penyidikan perkara kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menjerat Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Sjamsul Nursalim oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis (1/4/2021) sore, merupakan efek buruk dari revisi Undang-Undang KPK.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai, perlahan namun pasti, efek buruk dari berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK itu semakin menguntungkan pelaku korupsi.
"Selain proses penindakan yang kian melambat, kali ini KPK justru menghentikan perkara besar dengan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)," kata Kurnia dalam keterangan tertulis, Jumat (2/4/2021).
Baca juga: Kasus BLBI Dihentikan, Bagaimana Perjalanan Kasusnya Selama Ini?
Menurut Kurnia, kewenangan pemberian SP3 di KPK berdasarkan aturan yang ada dalam Pasal 40 Undang-Undang No. 19 tahun 2019 itu bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2004.
Saat itu, kata Kurnia, MK menegaskan bahwa KPK tidak berwenang mengeluarkan SP3. Hal itu, semata-mata untuk mencegah lembaga anti rasuah tersebut melakukan penyalahgunaan kewenangan.
Polanya, lanjut dia, dapat beragam, misalnya, negoisasi penghentian perkara dengan para tersangka, atau mungkin lebih jauh, dimanfaatkan oleh pejabat struktural KPK untuk menunaikan janji tatkala mengikuti seleksi pejabat di lembaga anti rasuah tersebut.
"Sebab, tidak menutup kemungkinan pemberian SP3 justru dijadikan bancakan korupsi," ucap dia.
Baca juga: Kasus BLBI yang Jerat Sjamsul Nursalim Dihentikan, MAKI Akan Gugat KPK
Oleh sebab itu, ICW menuntut agar KPK segera melimpahkan berkas kepada Jaksa Pengacara Negara untuk kemudian dilakukan gugatan perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 32 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Hal ini penting, untuk memastikan adanya pertanggungjawaban dari Nursalim atas perbuatannya yang telah membohongi dan merugikan perekonomian negara triliunan rupiah," kata Kunia.
"Jika gugatan ini tidak segera dilayangkan, maka pelaku berpotensi mengulangi perbuatannya di masa mendatang," ucap dia.
Bagi publik sendiri, menurut Kurnia, penuntasan perkara penerbitan SKL obligor BLBI ini menjadi penting setidaknya untuk dua hal utama.
Pertama, perkara ini telah menarik perhatian publik sejak lama. Bahkan, ICW kerap memasukkan perkara BLBI sebagai tunggakan yang harus dituntaskan oleh KPK sejak lama.
Kedua, akibat tindakan Sjamsul Nursalim, negara mesti menelan kerugian yang fantasitis, yakni mencapai Rp 4,58 triliun.
"Namun, periode kepemimpinan Firli Bahuri ini justru meruntuhkan harapan publik," ucap Kurnia.
Selain karena dampak revisi UU KPK, lanjut Kurnia, pangkal persoalan lain penghentian penyidikan ini, menurut dia, juga berkaitan langsung dengan Mahkamah Agung dan kebijakan Komisioner KPK.
Untuk MA sendiri, kata dia, kritik dapat disematkan tatkala lembaga kekuasaan kehakiman itu memutus lepas Syafruddin Arsyad Tumenggung mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional dan kemudian diikuti penolakan permohonan Peninjauan Kembali (PK) dari KPK.
Yang perlu dicatat, kata Kurnia, putusan lepas yang dijatuhkan MA terhadap Syafruddin Arsyad Tumenggung jelas keliru dan diwarnai dengan kontroversi.
"Betapa tidak, kesimpulan majelis hakim kala itu justru menyebutkan bahwa perkara yang menjerat SAT bukan merupakan perbuatan pidana," ujar Kurnia.
"Padahal, dalam fakta persidangan pada tingkat judex factie sudah secara terang benderang menjatuhkan hukuman penjara belasan tahun kepada terdakwa," kata dia.
Adapun menurut Komisi Pemberantasan Korupsi, penghentian penyidikan kasus ini sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
"Penghentian penyidikan ini sebagai bagian adanya kepastian hukum dalam proses penegakan hukum sebagaimana amanat Pasal 5 UU KPK, yaitu 'Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya KPK berasaskan pada asas Kepastian Hukum'," ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers, Kamis (1/4/2021)
"Penghentian penyidikan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 40 UU KPK," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.