Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

ICW Nilai Penghentian Penyidikan Kasus Sjamsul Nursalim Efek Revisi UU KPK

Kompas.com - 03/04/2021, 06:25 WIB
Irfan Kamil,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai penghentikan penyidikan perkara kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menjerat Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Sjamsul Nursalim oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis (1/4/2021) sore, merupakan efek buruk dari revisi Undang-Undang KPK.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai, perlahan namun pasti, efek buruk dari berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK itu semakin menguntungkan pelaku korupsi.

"Selain proses penindakan yang kian melambat, kali ini KPK justru menghentikan perkara besar dengan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)," kata Kurnia dalam keterangan tertulis, Jumat (2/4/2021).

Baca juga: Kasus BLBI Dihentikan, Bagaimana Perjalanan Kasusnya Selama Ini? 

Menurut Kurnia, kewenangan pemberian SP3 di KPK berdasarkan aturan yang ada dalam Pasal 40 Undang-Undang No. 19 tahun 2019 itu bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2004.

Saat itu, kata Kurnia, MK menegaskan bahwa KPK tidak berwenang mengeluarkan SP3. Hal itu, semata-mata untuk mencegah lembaga anti rasuah tersebut melakukan penyalahgunaan kewenangan.

Polanya, lanjut dia, dapat beragam, misalnya, negoisasi penghentian perkara dengan para tersangka, atau mungkin lebih jauh, dimanfaatkan oleh pejabat struktural KPK untuk menunaikan janji tatkala mengikuti seleksi pejabat di lembaga anti rasuah tersebut.

"Sebab, tidak menutup kemungkinan pemberian SP3 justru dijadikan bancakan korupsi," ucap dia.

 Baca juga: Kasus BLBI yang Jerat Sjamsul Nursalim Dihentikan, MAKI Akan Gugat KPK

Oleh sebab itu, ICW menuntut agar KPK segera melimpahkan berkas kepada Jaksa Pengacara Negara untuk kemudian dilakukan gugatan perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 32 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

"Hal ini penting, untuk memastikan adanya pertanggungjawaban dari Nursalim atas perbuatannya yang telah membohongi dan merugikan perekonomian negara triliunan rupiah," kata Kunia.

"Jika gugatan ini tidak segera dilayangkan, maka pelaku berpotensi mengulangi perbuatannya di masa mendatang," ucap dia.

Bagi publik sendiri, menurut Kurnia, penuntasan perkara penerbitan SKL obligor BLBI ini menjadi penting setidaknya untuk dua hal utama.

Pertama, perkara ini telah menarik perhatian publik sejak lama. Bahkan, ICW kerap memasukkan perkara BLBI sebagai tunggakan yang harus dituntaskan oleh KPK sejak lama.

Kedua, akibat tindakan Sjamsul Nursalim, negara mesti menelan kerugian yang fantasitis, yakni mencapai Rp 4,58 triliun.

"Namun, periode kepemimpinan Firli Bahuri ini justru meruntuhkan harapan publik," ucap Kurnia.

Selain karena dampak revisi UU KPK, lanjut Kurnia, pangkal persoalan lain penghentian penyidikan ini, menurut dia, juga berkaitan langsung dengan Mahkamah Agung dan kebijakan Komisioner KPK.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PDI-P Tak Pecat Jokowi, Komarudin Watubun: Kader yang Jadi Presiden, Kita Jaga Etika dan Kehormatannya

PDI-P Tak Pecat Jokowi, Komarudin Watubun: Kader yang Jadi Presiden, Kita Jaga Etika dan Kehormatannya

Nasional
Menko Polhukam: 5.000 Rekening Diblokir Terkait Judi Online, Perputaran Uang Capai Rp 327 Triliun

Menko Polhukam: 5.000 Rekening Diblokir Terkait Judi Online, Perputaran Uang Capai Rp 327 Triliun

Nasional
Golkar Sebut Pembicaraan Komposisi Menteri Akan Kian Intensif Pasca-putusan MK

Golkar Sebut Pembicaraan Komposisi Menteri Akan Kian Intensif Pasca-putusan MK

Nasional
KPU: Sirekap Dipakai Lagi di Pilkada Serentak 2024

KPU: Sirekap Dipakai Lagi di Pilkada Serentak 2024

Nasional
Pasca-Putusan MK, Zulhas Ajak Semua Pihak Bersatu Wujudkan Indonesia jadi Negara Maju

Pasca-Putusan MK, Zulhas Ajak Semua Pihak Bersatu Wujudkan Indonesia jadi Negara Maju

Nasional
Temui Prabowo di Kertanegara, Waketum Nasdem: Silaturahmi, Tak Ada Pembicaraan Politik

Temui Prabowo di Kertanegara, Waketum Nasdem: Silaturahmi, Tak Ada Pembicaraan Politik

Nasional
Momen Lebaran, Dompet Dhuafa dan Duha Muslimwear Bagikan Kado untuk Anak Yatim dan Duafa

Momen Lebaran, Dompet Dhuafa dan Duha Muslimwear Bagikan Kado untuk Anak Yatim dan Duafa

Nasional
Deputi KPK Minta Prabowo-Gibran Tak Berikan Nama Calon Menteri untuk 'Distabilo' seperti Era Awal Jokowi

Deputi KPK Minta Prabowo-Gibran Tak Berikan Nama Calon Menteri untuk "Distabilo" seperti Era Awal Jokowi

Nasional
Usul Revisi UU Pemilu, Anggota DPR: Selama Ini Pejabat Pengaruhi Pilihan Warga Pakai Fasilitas Negara

Usul Revisi UU Pemilu, Anggota DPR: Selama Ini Pejabat Pengaruhi Pilihan Warga Pakai Fasilitas Negara

Nasional
KPU Mulai Rancang Aturan Pemutakhiran Daftar Pemilih Pilkada 2024

KPU Mulai Rancang Aturan Pemutakhiran Daftar Pemilih Pilkada 2024

Nasional
Waketum Nasdem Ahmad Ali Datangi Rumah Prabowo di Kertanegara

Waketum Nasdem Ahmad Ali Datangi Rumah Prabowo di Kertanegara

Nasional
Sebut Hak Angket Masih Relevan Pasca-Putusan MK, PDI-P: DPR Jangan Cuci Tangan

Sebut Hak Angket Masih Relevan Pasca-Putusan MK, PDI-P: DPR Jangan Cuci Tangan

Nasional
Bicara Posisi Politik PDI-P, Komarudin Watubun: Tak Harus dalam Satu Gerbong, Harus Ada Teman yang Mengingatkan

Bicara Posisi Politik PDI-P, Komarudin Watubun: Tak Harus dalam Satu Gerbong, Harus Ada Teman yang Mengingatkan

Nasional
Anggota Komisi II DPR Nilai Perlu Ada Revisi UU Pemilu Terkait Aturan Cuti Kampanye Pejabat Negara

Anggota Komisi II DPR Nilai Perlu Ada Revisi UU Pemilu Terkait Aturan Cuti Kampanye Pejabat Negara

Nasional
Proses di PTUN Masih Berjalan, PDI-P Minta KPU Tunda Penetapan Prabowo-Gibran

Proses di PTUN Masih Berjalan, PDI-P Minta KPU Tunda Penetapan Prabowo-Gibran

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com