"Ketiadaan efek jera bagi koruptor atau pelaku tindak pidana ekonomi lain memberikan contoh bagi para pelaku kejahatan lainnya, menunjukkan kekayaan negara sangat mudah dicuri untuk diambil serta digunakan memperkaya diri sendiri atau golongan," ucap Dian.
Mengomentari RUU Perampasan Aset yang tak masuk prioritas, peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengaku tak terkejut.
Sebab, ia menilai sejak awal para pembentuk undang-undang (UU), yaitu pemerintah dan DPR hanya memprioritaskan pembahasan regulasi kontroversial dan melemahkan agenda pemberantasan korupsi.
"Misalnya revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi dan Omnibus Law UU Cipta Kerja, sehingga hal itu berakibat merosotnya poin dan peringkat Indonesia dalam indeks persepsi korupsi yang beberapa waktu lalu disampaikan oleh Transparency International Indonesia," ucap Kurnia dalam keterangan tertulis kepada Kompas.com, Rabu.
Suplemen penting
Kurnia menyebut, RUU Perampasan Aset menjadi suplemen penting untuk menunjang aparat penegak hukum dan pemberantasan korupsi.
Apabila RUU ini disahkan, kata Kurnia, penegak hukum tak perlu kesulitan lagi jika menghadapi pelaku korupsi yang melarikan diri.
"Sebab, obyek pemeriksaan di persidangan adalah aset itu sendiri, bukan individu pelaku. Selain itu, metode pembuktiannya pun lebih sederhana, tidak lagi menganut model hukum pidana, melainkan berpindah pada ranah perdata," tutur Kurnia.
Ia mengatakan, langkah hukum penyitaan tidak harus memikirkan kesalahan pelaku.
Namun, sepanjang penegak hukum meyakini aset itu tercemar akibat praktik korupsi, aset tersebut dapat disita dan disidangkan untuk kemudian dapat dirampas oleh negara.
Kerugian bagi Indonesia
Kurnia juga menilai, jika RUU Perampasan Aset tak kunjung disahkan, ada satu hal yang harus siap diterima Indonesia yaitu rugi dalam menangani kasus korupsi.
"Jika terus menerus seperti ini, dalam konteks ekonomi, maka Indonesia akan selalu rugi ketika menangani perkara korupsi," kata Kurnia.
Baca juga: ICW Nilai RUU Perampasan Aset Perlu Masuk Prolegnas
Bukan tanpa alasan, berdasarkan data ICW pada pemantauan persidangan perkara korupsi tahun 2020, Indonesia selalu mengedepankan pendekatan hukum pidana.
Padahal, menurut dia, mengedepankan hukum pidana tidak menyelesaikan persoalan pemulihan kerugian keuangan negara.
Selain prosesnya yang panjang, pembuktiannya sulit dan putusan hakim juga tak kunjung mengakomodasi pengenaan pidana tambahan uang pengganti yang maksimal.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.