Hal tersebut, kata dia, agar mutu pendidikan formal yang didapatkan anak-anaknya di sekolah bisa terus ditingkatkan.
Salah satu hal yang diajarkan kepada tiga anaknya adalah pendidikan bahasa Inggris.
Pria kelahiran 21 Desember 1953 ini bersama istrinya melakukan percakapan sehari-hari dengan anak-anak di rumah menggunakan bahasa Inggris.
"Bukan karena tidak nasionalis, tetapi demi keluasan akses pendidikan dan karirnya kelak," tutur Pakpahan.
Jadi Ketum SBSI, gerakan pembela rakyat kecil
Muchtar dikenal luas karena karena perjuangannya membela rakyat kecil.
Masih dalam artikel Harian Kompas, 18 September 1993, ia menceritakan bagaimana saat itu mengorbankan diri untuk membela rakyat kecil selama menjadi Ketua Umum SBSI periode 1992-2003.
Baca juga: Profil Mendiang Muchtar Pakpahan, Tokoh Buruh yang Kerap Dipenjara di Era Soeharto
Adapun SBSI merupakan organisasi buruh di luar Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) yang tidak diakui pemerintah masa itu.
Ketika ditanya apa alasan ia bersedia menjabat Ketua Umum SBSI, latar belakang pendirian organisasi pun dipakainya sebagai jawaban.
"SBSI didirkan langsung oleh buruh, sehingga saya mau aktif di dalamnya. Tegasnya bukan lagi sekadar membantu, seperti charity, tapi bagaimana agar buruh mampu membela nasibnya sendiri," papar dia.
Lantas, apa yang membuat Muchtar Pakpahan begitu menaruh konsentrasi hidupnya untuk membela rakyat kecil dan perburuhan melalui pendirian SBSI?
Cerita dia, perspektif baru itu diperolehnya pada tahun 1984, saat DPP SPSI bersikap pasif membiarkan para aktivis buruh diinterogasi aparat keamanan.
Padahal, kata Pakpahan, apa yang dibuat oleh aktivis buruh saat itu justru hanya mendirikan Pengurus Unit Kerja (PUK) SPSI di berbagai perusahaan.
"Eksistensi SPSI, akhirnya saya lihat sekadar untuk security approach mengamankan buruh," ujar Pakpahan yang tahun 1978 mendirikan PUK FBSI PT Korek Api Dili, Sumatera Utara.
Baca juga: Muchtar Pakpahan Meninggal Dunia, KSPI: Buruh Indonesia Sangat Berduka
Dari situlah, semangat dan kerja keras Pakpahan untuk mati-matian membantu SBSI muncul. Bahkan, membela kaum kecil demi menegakkan keadilan akan tetap diteruskannya.
"Ya, tapi sekarang kan sudah lain. Tidak seperti tahun 70-an dan 80-an, sikap ABRI tahun 90-an kan sudah penuh keterbukaan demi demokratisasi," ucap dia.
Melihat situasi perkembangan kala itu membuat Pakpahan meyakini bahwa perjuangan bangsa Indonesia demi menegakkan keadilan dan demokrasi sudah berada di jalurnya.
Soal pentingnya demokrasi dan kebebasan berpendapat juga ditekankannya kala itu.
Ia mengingatkan agar situasi Indonesia jangan sampai seperti 10 tahun sebelumnya, atau tepatnya sekitar tahun 1980-an.
Ia bercerita, pada tahun 1980-an, ia sempat bertengkar dengan Manggala dari instansi tertentu.
Alasan pertengkaran itu, kata dia, hanya karena persoalan sepele, yakni saat muncul sebuah pertanyaan tentang apakah Indonesia sudah negara Pancasilais atau belum.
"Saya memilih berhenti jadi Manggala BP7 daripada bertengkar terus dengan manggala dari instansi tertentu saat menatar. Padahal soal sepele, tentang Indonesia sudah negara Pancasilais atau belum," kata dia.
"Saya bilang belum, baru usaha. Dia bilang sudah, sebab berasas sama semua. Kan repot, jika tanpa keterbukaan," ucap Pakpahan yang saat itu menjadi dosen di Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan Universitas Tujuhbelas Agustus 1945 (Untag) Jakarta.