JAKARTA, KOMPAS.com – Rencana impor beras terus mendapat sorotan. Pasalnya kebijakan tersebut tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari internal pemerintah.
Di jajaran Kabinet Indonesia Maju yang dipimpin Presiden Joko Widodo, rencana impor beras yang dicetuskan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi tak mendapat dukungan speenuhnya.
Lutfi bahkan siap melepas jabatannya jika keputusannya terbukti salah. Hal itu diungkapkan Lutfi dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI pada Senin (22/3/2021).
Baca juga: Sumsel Surplus Beras 2,07 Juta Ton, Harga Gabah Petani Pun Anjlok, Kenapa Harus Impor Beras?
"Saya mesti memikirkan yang tidak terpikirkan. Saya mesti mengambil keputusan yang tidak populer. Kalau memang saya salah, saya siap berhenti, tidak ada masalah," ujarnya.
Ia menjelaskan, bahwa opsi impor untuk memenuhi cadangan beras Bulog mencapai stok 1 juta-1,5 juta ton sudah diputuskan sebelum dirinya menjadi Menteri Perdagangan pada Desember 2020 lalu.
Saat itu, sudah ada notulen rapat di tingkat kabinet yang meminta Bulog di tahun ini menambah cadangan atau iron stock sebanyak 500.000 ton. Pada notulen disebutkan pengadaan beras bisa dipenuhi dari impor.
"Jadi itu sudah ada sebelum saya datang (menjadi Mendag). Maka waktu saya datang, saya melakukan penghitungan jumlahnya (stok beras pemerintah di Bulog)," katanya.
Kendati demikian Kementerian Pertanian (Kementan) mengklaim kalau produksi beras nasional bakal surplus alias produksinya berlebih sampai akhir Mei 2021.
Baca juga: Ekonom Faisal Basri Kaget Rencana Impor Beras Dilakukan saat Tren Konsumsi Beras Turun
“Secara umum, sampai dengan akhir Mei 2021 ketersediaan pangan pokok seperti beras, jagung, kedelai, bawang merah, cabai, daging dan gula dalam keadaan cukup,” kata Sekretaris Jenderal Kementan Momon Rusmono dikutip dari Kontan.
Momon mengatakan, khusus beras diperkirakan surplus 12,56 juta ton beras hingga akhir Mei 2021 karena pada saat ini dalam kondisi petani memasuki masa panen raya.
“Menjelang Ramadhan dan idul fitri, perlu kami laporkan bahwa kementerian pertanian telah melakukan berbagai persiapan. Salah satu mengantisipasi ketersediaan pangan melalui penghitungan neraca kebutuhan dan produksi pangan agar pada saatnya tercukupi,” ujar Momon.
Tak hanya di pemerintahan, silang pendapat juga terjadi di DPR. Perbedaan pendapat itu bahkan terjadi di tubuh partai pendukung pemerintah.
Golkar yang dipimpin Airlangga justru mendukung rencana impor beras. Anggota Komisi IV DPR Fraksi Golkar Firman Soebagyo mengatakan nagra berkewajiban menjamin ketersediaan stok pangan nasional.
Baca juga: Mendag Janji akan Mundur jika Kebijakan Impor Beras Salah
"Mengingat itu adalah amanat konstitusi bahwa pangan harus tersedia oleh negara dan pangan adalah hak asasi manusia,” kata Firman, Jumat (19/3/2021) dikutip dari laman dpr.go.id
Lagi pula, katanya, impor beras itu bukan untuk langsung didistribusikan tapi akan dijadikan cadangan.
"Impor ini diperuntukkan untuk cadangan dan bukan langsung didistribusikan di pasar dan ini untuk menstabilkan harga dan ketersediaan pangan bila sewaktu waktu terjadi devisit pasokan di masyarakat," kata Firman.
SSementara itu Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, partainya secara terang-terangan menolak kebijakan impor beras. Kebijakan tersebut dinilainya justru menjadi beban Presiden Jokowi yang sedang mengampanyekan gerakan cinta produksi dalam negeri.
"Memaksakan impor beras secara sepihak, tidak hanya bertentangan dengan politik pangan Presiden Jokowi, namun mencoreng muka Presiden Jokowi yang belum lama mengampanyekan gerakan cinta produksi dalam negeri," kata Hasto dalam keterangannya, Senin (22/3/2021).
Baca juga: Keluh Kesah Petani Tegal: Panen Raya Harga Sedang Anjlok, Pemerintah Kenapa Impor Beras
“Nusantara begitu kaya dengan aneka rupa makanan, kekayaan hortikultura, yang seharusnya membuat menteri perdagangan percaya bahwa impor beras tidak perlu dilakukan," ucap Hasto.
Menyikapi polemik impor beras tersebut, Pengamat komunikasi politik dari Universitas Indonesia (UI) Irwansyah mengatakan, klaim yang paling benar adalah keberpihakan pada kesejahteraan masyarakat.
Namun, ia menjelaskan, masing-masing lembaga tersebut memiliki keberpihakan pada kesejahteraan kelompok masyarakat yang berbeda-beda.
"Nah sejahtera dari masyarakat yang mana ini perlu dibuka, apakah petani, pedagang, penjual, distributor, atau konsumen," katanya.
Menurut Irwansyah, Kementerian Pertanian memiliki keberpihakan pada petani. Namun Kementerian Perdagangan memiliki keberpihakan pada pedagang.
Baca juga: Polemik Impor Beras, ke Mana Seharusnya Kebijakan Pemerintah Berpihak?
"Bulog berpihak pada penjual dan distributor. DPR memiliki keberpihakan pada konstituen atau pemilih," lanjut dia.
Sehingga, menurut Irwansyah, perbedaan pendapat itu tidak menjadi masalah. Sebab dalam demokrasi yang diinginkan oleh publik bukan sekadar komunikasi tentang keputusan suatu kebijakan.
Sebaliknya, publik membutuhkan komunikasi yang menggambarkan proses pengambilan kebijakan tersebut.
Irwansyah berpendapat polemik impor beras ini baik jika menjadi wacana yang diperdebatkan, sebab merepresentasikan proses demokrasi yang menggambarkan masyarakat Indonesia yang majemuk.
"Sehingga lebih baik diskursus ini bisa berkembang sebagai bentuk demokrasi untuk menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia termasuk dalam sisi pemerintah, merupakan representasi masyarakat yang majemuk," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.