JAKARTA, KOMPAS.com - Tokoh pergerakan buruh Muchtar Pakpahan meninggal dunia karena penyakit kanker, pada Minggu (21/3/2021). Semasa hidupnya, Muchtar menjadi salah satu sosok yang cukup diperhitungkan, terutama ketika rezim Orde Baru masih berkuasa.
Bagaimana tidak, ia pernah menyodorkan wacana perubahan sistem politik yang membuat penguasa saat itu sangat terganggu.
Baca juga: Muchtar Pakpahan di Mata Kerabat, Konsisten Perjuangkan Hak Buruh dan Rakyat Kecil
Mendesaknya perubahan sistem politik saat itu dibuktikannya ketika mempertahankan disertasinya mengenai Pelaksanaan Tugas dan Hak DPR Masa Kerja 1982-1987 di muka senat guru besar Universitas Indonesia, Depok, pada 1993.
Inti pokok pikirannya yaitu mendorong adanya peninjauan kembali empat undang-undang (UU) agar demokratisasi berjalan sehat.
Keempat UU yang harus ditinjau adalah UU Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, UU Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilu, UU Nomor 3 Tahun 1975 tentang Parpol dan Golkar, serta UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Keormasan.
"Meski beberapa UU itu telah beberapa kali diubah, tapi perubahannya belumlah menuju terciptanya demokratisasi," kata Muchtar dikutip dari dokumen Harian Kompas.
Baca juga: Profil Mendiang Muchtar Pakpahan, Tokoh Buruh yang Kerap Dipenjara di Era Soeharto
Perhatian Muchtar merujuk pada tidak optimalnya pelaksanaan tugas DPR 1982-1987, terutama karena sistem politik dan hukum, tata tertib DPR, kondisi anggota DPR dan budaya politik yang ada.
Peran legislator saat itu dicap kurang kreatif, bahkan dianggap sebagai salah satu penghambat jalannya demokratisasi yang sehat.
"Penelitian saya membuktikan hanya 29,13 persen atau 134 dari 460 anggota yang muncul dalam pemberitaan Harian Kompas selama 1 Januari-31 Desember 1985. Yaitu 17 dari 24 anggota FDI (73 persen), 31 dari 94 anggota FPP (32,98 persen), 26 dari 75 anggota F-ABRI (34,67 persen) dan 59 dari 267 anggota FKP (22,10 persen)," kata dia.
Baca juga: Muchtar Pakpahan Meninggal Dunia, KSPI: Buruh Indonesia Sangat Berduka
Hal itu juga terjadi pada persentase kehadiran anggota, sesuai sampel Komisi III, IX dan APBN, pada rapat komisi yang tak pernah mencapai 100 persen.
Dikutip dari muchtarpakpahan.com, akibat disertasi tersebut, ia terpaksa harus berurusan dengan hukum.
Dua hari setelah mempertahankan disertasinya, pria yang biasa disapa Bang Muchtar ini dibawa ke Badan Intelijen ABRI (BIA), diminta mengubah isi disertasi karena dianggap membahayakan keselamatan negara.
Pada Januari 1994, Muchtar kemudian ditahan di Semarang, Agustus 1994 dipenjarakan di Medan dan bebas pada Mei 1995.
Namun, Muhctar kembali mendekam penjara pada 1996 di LP Cipinang, Jakarta.
Ia keluar-masuk penjara akibat rangkaian disertasi yang selanjutnya diterbitakan menjadi buku berjudul Potret Negara Indonesia. Isinya merupakan alternatif revolusi pada masa reformasi.