JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus kontroversi tes usap atau swab test mantan pemimpin organisasi masyarakat Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab di RS Ummi, Bogor, telah memasuki proses persidangan.
Duduk sebagai salah satu terdakwa adalah Direktur Utama RS Ummi Andi Tatat.
Ia didakwa menyiarkan berita bohong hingga menimbulkan keonaran di masyarakat, atau dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah, atau dengan sengaja tidak menuruti perintah pejabat yang menjalankan tugas.
Sesaat sebelum persidangan dengan agenda pembacaan dakwaan dimulai, Selasa (16/3/2021), pihak kuasa hukum Andi menyinggung soal permohonan deponering atau pengesampingan perkara.
Pihak kuasa hukum mengungkapkan, surat permohonan deponering sudah dilayangkan ke Jaksa Agung, Jaksa Agung Muda bidang Pidana Umum, serta jaksa penuntut umum (JPU).
Lalu, apa itu deponering?
"Kewenangan ini (deponering) diatur dalam (Pasal 35 ayat c) UU Kejaksaan RI," ucap pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, ketika dihubungi Kompas.com, Kamis (18/3/2021).
Pasal 35 ayat c UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI menyebutkan bahwa salah satu tugas dan wewenang Jaksa Agung adalah mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
Baca juga: Dirut RS Ummi Surati Jaksa Agung Minta Pengesampingan Perkara
Fickar menjelaskan, kejaksaan memiliki kewenangan yuridis yang didasarkan pada asas legalitas dan oportunitas.
Asas legalitas artinya kewenangan menuntut sebuah perkara di pengadilan.
Sementara, kata Fickar, asas oportunitas yakni kewenangan untuk tidak meneruskan perkara ke pengadilan atau menghentikan perkara.
Fickar mengungkapkan, penghentian perkara itu dapat didasarkan pada pertimbangan yuridis atau demi kepentingan hukum.
Pertimbangannya terdiri dari, perkara bukan tindak pidana, melainkan perdata; alat bukti kurang; terdakwa meninggal dunia, perkara yang sama pernah diadili (nebis in idem); atau tidak pidana sudah kedaluwarsa.
Baca juga: PN Jaktim Imbau Masyarakat Ikuti Sidang Rizieq Lewat Live Streaming demi Hindari Kerumunan
Kemudian, penghentian perkara juga dapat dilakukan demi kepentingan umum.
"Yaitu kewenangan menghentikan perkara meski cukup bukti untuk disidangkan, tetapi dihentikan demi kepentingan umum ini (disebut) kewenangan yang didasarkan pada asas oportunitas," ucap Fickar.
Salah satu contohnya adalah ketika Jaksa Agung yang kala itu menjabat, M Prasetyo, mendeponir perkara dua mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, di tahun 2016.
"Yang paling akhir menghentikan perkara Abraham Samad dan BW, dengan pertimbangan jika disidangkan akan membuat orang tidak berani menjadi pimpinan KPK, karena takut dipidanakan oleh kepolisian," tutur Fickar.
Pada saat itu, Abraham menjadi tersangka kasus dugaan pemalsuan dokumen. Sementara, Bambang adalah tersangka perkara dugaan menyuruh saksi memberi keterangan palsu pada sidang Mahkamah Konstitusi (MK), 2010 silam.
Kasus keduanya ditangani oleh aparat kepolisian setelah KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka.
Selain Abraham dan Bambang, Kejaksaan diketahui juga pernah mengeluarkan deponering atas kasus yang menjerat Bibit Samad Rianto dan Chandra Marta Hamzah kala menjabat sebagai pimpinan KPK.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.