JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengatakan, perkawinan anak dapat memunculkan kemiskinan antar-generasi.
Sebab, kata dia, dampak perkawinan anak tidak hanya dialami oleh anak yang dinikahkan, tetapi kepada generasi berikutnya.
"Dampak perkawinan anak tidak hanya akan dialami oleh anak yang dinikahkan, namun juga akan berdampak pada anak yang dilahirkan, serta berpotensi memunculkan kemiskinan antar-generasi," ujar Bintang di acara seminar nasional dan deklarasi Gerakan Nasional Pendewasaan Usia Perkawinan untuk Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia yang digelar Kementerian PPPA dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kamis (18/3/2021).
Selain itu, kata dia, anak-anak yang dilahirkan dari hasil pernikahan anak juga terbukti mengalami stunting. Padahal, Indonesia saat ini tengah fokus memberantas stunting karena jumlahnya yang masih tergolong tinggi.
Baca juga: Mendikbud: Perkawinan Anak Hilangkan Hak Anak Dapatkan Pendidikan Berkualitas
Pasal 1 Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan, perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
"Tentu hal tersebut tidak bisa terpenuhi jika yang akan melakukan perkawinan masih usia anak. Untuk itu, memang diperlukan pendewasaan usia perkawinan agar lebih matang dan siap dalam memasuki jenjang perkawinan," kata Bintang.
Bintang mengatakan, pendewasaan usia perkawinan pada hakekatnya adalah menyadari tidak menikahkan anak pada usia anak. Pasalnya, perkawinan anak merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap anak.
Selain itu, [erkawinan anak juga dinilai merupakan bentuk dari pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
"Anak yang dipaksa menikah atau karena kondisi tertentu harus menikah di bawah usia 18 tahun akan memiliki kerentanan yang lebih besar," kata dia.
Baca juga: Menko PMK: Butuh Fatwa MUI untuk Cegah Perkawinan Anak
Kerentanan tersebut dapat dialami baik dari akses pendidikan, kualitas kesehatan, potensi mengalami tindak kekerasan, hingga hidup dalam kemiskinan.
Hal itu pula yang menyebabkan pemerintah merevisi UU 1 Tahun 1974 menjadi UU Nomor 16 Tahun 2019 dan mengubah usia minimum perkawinan menjadi 19 tahun, baik bagi laki-laki maupun perempuan.
"Tentunya dengan harapan, minimal akses anak perempuan terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan yang layak, dan lainnya akan lebih terbuka lebar," ucap dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.