JAKARTA, KOMPAS.com - Kebijakan Presiden Joko Widodo terkait penghapusan limbah batu bara dan limbah sawit dari daftar limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) menjadi sorotan publik karena dinilai berpengaruh pada lingkungan hidup.
Aturan tersebut tertuang di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
PP Nomor 22 Tahun 2021 merupakan aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Berdasarkan lampiran XIV PP Nomor 22 Tahun 2021 disebutkan, jenis limbah batu bara yang dihapus dari kategori limbah B3 adalah fly ash dan bottom ash (FABA).
Dua jenis limbah tersebut bersumber dari proses pembakaran batu bara pada fasilitas pembangkitan listrik tenaga uap PLTU atau dari kegiatan lain yang menggunakan teknologi, selain stocker boiler dan/atau tungku industri.
Pasal 459 huruf C PP 22/2021 diatur fly ash dan bottom ash hasil pembakaran batu bara dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan kegiatan lainnya tak termasuk sebagai limbah B3, tetapi non-B3.
“Pemanfaatan Limbah nonB3 sebagai bahan baku yaitu pemanfaatan Limbah nonB3 khusus seperti fly ash (debu,red) batubara dari kegiatan PLTU dengan teknologi boiler minimal CFB (Ciraiating Fluidized Bed) dimanfaatkan sebagai bahan baku kontruksi pengganti semen pozzolan,” demikian tertulis dalam beleid itu.
Baca juga: Presiden Jokowi Keluarkan Limbah Batu Bara dari Kategori Berbahaya
Dalam PP yang sama, limbah sawit atau spent bleaching earth (SBE) atau limbah padat yang dihasilkan industri pemurnian minyak goreng juga dihapus dari kategori daftar limbah B3.
Adapun, jenis limbah sawit SBE masuk dalam daftar limbah non-B3 dengan kode limbah N108.
Kebijakan tersebut menuai kritik dari aktivis lingkungan hingga DPR RI. Mereka menilai menghapus limbah batu bara jenis FABA dari kategori B3 akan mempengaruhi kerusakan lingkungan.
Baca juga: Limbah Sawit Juga Dikeluarkan Jokowi dari Kategori Berbahaya
Salah satu yang mengkritik adalah Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah yang menilai dikeluarkannya limbah fly ash dan bottom ash dari kategori B3, dapat mencemari sungai dan laut yang menjadi pusat kehidupan masyarakat pesisir.
"Limbah ini kalau tercemar ke air membuat biota ikan mati, itu terjadi baik di masyarakat yang hidup di pesisir sungai dan laut. Padahal 82 persen perusahaan batu bara di Indonesia letaknya di wilayah pesisir. Jadi ini kejahatan sistematis pemerintah pada masyarakat pesisir," kata Merah saat dihubungi Kompas.com, Jumat (12/3/2021).
Baca juga: Limbah Batu Bara Dikeluarkan dari Kategori Berbahaya, JATAM: Kejahatan Sistematis
Ia mengatakan, kelompok nelayan, perempuan dan masyarakat adat akan sangat terdampak terhadap limbah batu bara tersebut.
Kebijakan tersebut, menurut Merah, menunjukkan pemerintah hanya menghitung dampak ekonomi bagi pemasukan negara. Namun, abai terhadap lingkungan dan masyarakat.
Senada, Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) Dwi Sawung menilai, pemerintah kian mengabaikan lingkungan hidup dengan dihapusnya limbah batu bara jenis FABA dari kategori B3.