JAKARTA, KOMPAS.com - Sebelum mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar), Presiden Soekarno sempat dibujuk oleh dua pengusaha agar mau menyerahkan kekuasaannya kepada Soeharto.
Bujukan itu datang dari dua pengusaha yang juga disebut sebagai orang dekat Soekarno, Hasjim Ning dan Dasaad.
Cerita ini terungkap dalam biografi Hasjim Ning yang ditulis AA Navis berjudul Pasang Surut Pengusaha Pejuang, Otobiografi Hasjim Ning (1987), serta buku otobiografi Alamsjah Ratu Prawiranegara, Perjalanan Hidup Seorang Anak Yatim (1995).
Peristiwa itu terjadi sebelum penyerahan Supersemar dari Soekarno kepada Soeharto, melalui Mayjen Basoeki Rachmat, Brigjen M Jusuf dan Brigjen Amirmachmud di Istana Bogor, 11 Maret 1966
Baca juga: Supersemar, Kestabilan Revolusi atau Alat Kudeta Terselubung?
Alamsjah Ratu Prawiranegara, yang saat itu menjabat Asisten VII Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Soeharto, mengusulkan untuk mengirim Dasaad dan Hasjim Ning.
Kedua pengusaha itu diminta membujuk Soekarno agar membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan menyerahkan mandatnya kepada Soeharto.
Pertemuan disebut berlangsung 6 Maret 1966.
Mereka berdua dianggap sebagai sosok yang dipercaya oleh Soekarno. Saking dekat dan percayanya, kata Alamsjah dalam otobiografinya, Dassad dapat bebas keluar-masuk kamar Soekarno.
"Alamsyah tahu betul siapa saja orang-orang yang dekat dengan Soekarno. Untuk membujuk perlu memakai orang-orang yang dekat dengan Soekarno," ujar sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam dalam wawancara dengan kepada Kompas.com, 6 Maret 2016.
Baca juga: Kontroversi Supersemar, Kemarahan Soekarno hingga Manuver Soeharto
Kecurigaan Soekarno
Alamsjah bertemu Dasaad dan Hasjim di rumah Dasaad, Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta. Ketika itu, Alamsjah menceritakan bahwa negara dalam keadaan kritis.
Soekarno tidak memenuhi tuntutan untuk membubarkan kabinet tapi malah memperbanyak menteri, tidak menurunkan harga melainkan menurunkan nilai uang, dan tidak membubarkan PKI.
Oleh karena itu, Alamsjah meminta Dasaad dan Hasjim menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor. Mereka diminta meyakinkan Soekarno bahwa Letjen Soeharto telah membuktikan kemampuannya mengendalikan keadaan.
"Jenderal Soeharto akan mampu melaksanakan penertiban dengan tuntas, apabila Presiden Soekarno mau melimpahan kekuasaannya," kata Alamsjah, dikutip dari otobiografi Hasjim Ning.
Baca juga: Naskah Asli Supersemar yang Masih Menjadi Misteri
Namun, otobiografi Hasjim Ning menyebut bahwa pertemuan itu berlangsung 10 Maret 1966. Hal ini berbeda dengan versi Alamsjah yang menyebut pertemuan itu dilakukan pada 6 Maret 1966, Hasjim Ning dan Dasaad setuju.
Kemudian ada catatan, mereka membujuk Soekarno untuk menyerahkan pemerintahan, bukan melimpahkan kekuasaan.
Mereka dibekali surat keterangan dari Menpangad Letjen Soeharto yang menyatakan sebagai penghubung antara Menpangad dengan Presiden Soekarno.
Baca juga: Ini Peran 5 Tokoh Penting dalam Penyerahan Supersemar...
Setibanya di Bogor dan berbicara dengan Soekarno, mereka mengatakan perihal penyerahan kekuasaan.
"Kedua orang itu membawa surat dari Soeharto. Dengan berbekal surat dari Soeharto, Mereka datang ke Bogor dan meminta supaya Soekarno tetap Presiden, tetapi urusan pemerintahan sehari-hari diserahkan kepada Soeharto," kata Asvi.
Menurut penuturan Asvi, Hasjim berkata kepada Soekarno, "Menteri-menteri Bapak tidak melaksanakan tugasnya lagi. Keluar rumah pun mereka tidak. Sehingga, Bapak sama sekali tidak terbantu. Hanya seorang yang berfungsi dan mampu melaksanakan tugasnya, yakni Jenderal Soeharto."
"Ah, kamu bicara seenaknya saja," kata Soekarno. "Aku tahu itu Soeharto menyuruh Sarwo Edhie memimpin mahasiswa untuk demonstrasi. Mestinya dia larang itu demonstrasi."
Soekarno menaruh curiga, "Apa kamu disuruh Soeharto datang ke sini?"
Baca juga: Misteri Supertasmar, Surat Perintah dari Soekarno untuk Koreksi Supersemar
Ketika itu keduanya belum menyerahkan surat dari Menpangad.
Hasjim berkilah, namun dia memberanikan diri menyatakan, "Kalau Bapak menyerahkan pimpinan pemerintahan kepada Jenderal Soeharto, Bapak akan tetap berada di tengah-tengah rakyat yang mencintai Bapak."
Usul itu pun ditolak Presiden Soekarno.
Soekarno melempar asbak
Menurut penuturan Asvi, mengutip dari buku biografi Alamsjah, Soekarno sempat marah sampai melempar asbak kepada Hasjim. Saat itu Soekarno membentak, "Kamu juga sudah pro-Soeharto."
"Soekarno sangat marah waktu itu, dan menurut Hasjim Ning, Soekarno sempat melemparkan asbak ke dirinya. Proses itu diceritakan dalam biografi Hasjim Ning dan Alamsyah, walaupun mereka memberikan tanggal yang berbeda," ucap Asvi.
Baca juga: Kontroversi Supersemar, Kemarahan Soekarno hingga Manuver Soeharto
Upaya membujuk Soekarno, seperti diakui Hasjim Ning dan Alamsjah Ratu Perwiranegara, gagal. Kemudian, terjadilah peristiwa pada 11 Maret 1966.
Saat itu, tiga jenderal mendatangi Soekarno di Istana Bogor. Soeharto mengirim petinggi Angkatan Darat, yaitu Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen Muhammad Jusuf, dan Brigjen Amirmachmud.
Ketiga jenderal itu meminta Soekarno mengeluarkan surat perintah yang kemudian dikenal sebagai Supersemar. Dengan Supersemar, Soeharto menjalankan kekuasaannya jauh dari sekadar mengatasi keadaan.
Sehari setelah menerima Supersemar, Soeharto langsung membubarkan Partai Komunis Indonesia. Padahal, seperti ditegaskan Soekarno dalam pidato 17 Agustus 1966, Supersemar bukan surat transfer of authority (pengalihan kekuasaan).
Supersemar hanya surat perintah pengamanan.
"Jika melihat rangkaian peristiwa sebelum 11 Maret, artinya sudah ada upaya membujuk melalui orang-orang terdekat Soekarno. Karena gagal, dicoba lebih keras lagi melalui demonstrasi dari mahasiswa dan tentara, kemudian mengirim tiga jenderal," tutur Asvi.
Direncanakan dan penuh tekanan
Menurut Asvi, pertemuan sebelum 11 Maret 1966 itu menunjukkan adanya peristiwa yang tidak spontan, melainkan direncanakan dan penuh nuansa tekanan.
"Ada serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Soeharto. Semua itu tidak ada di buku sejarah. Bukan melemahkan lagi, tapi menghabisi kekuasaan Soekarno," ucap Asvi.
Akan tetapi, mengutip arsip Harian Kompas terbitan 31 Maret 1982, Amirmachmud mengaku tidak tahu menahu soal peristiwa pertemuan kedua pengusaha itu dengan Soekarno.
Menurut Amirmachmud, Supersemar tidak pernah direncanakan, disusun konsepnya, atau didiskusikan terlebih dulu.
"Karena itu saya selalu mengatakan, SP 11 Maret adalah pemberian Tuhan yang mencintai bangsa Indonesia," kata Amirmachmud yang saat itu menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri.
Sedangkan dalam buku Jenderal M Jusuf, Panglima Para Prajurit (2006), Jusuf mengaku bahwa Hasjim Ning pernah menceritakan pertemuan itu. Namun, Jusuf tidak mau bercerita lebih jauh mengenai pertemuan itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.