Soeharto juga diminta tidak melampaui wewenangnya dan memberi laporan ke presiden.
"Hanafi disuruh untuk menghubungi beberapa orang dan menyebarkan surat untuk membantah Supersemar. Tapi dia tidak punya jalur lagi," tutur Asvi.
Hanafi sempat menghubungi mantan Panglima Angkatan Udara Suryadharma. Namun, Suryadharma mengaku tidak lagi punya saluran untuk menyebarkan surat perintah baru dari Presiden Soekarno itu.
"Pers pun tidak mau memberitakan," tutur Asvi Warman. Hingga saat ini, keberadaan Supertasmar pun tidak jelas.
Kepala Arsip Nasional RI Mustari Irawan juga mengakui lembaganya tidak memiliki naskah atau salinan mengenai Supertasmar itu.
Kudeta merangkak
Perbedaan pandangan ini kemudian menjadi dasar yang menyebut bahwa Presiden Soekarno menerbitkan Supersemar bukan atas kehendaknya.
Selama ini memang ada sejumlah kabar yang menyebut Soekarno berada dalam tekanan saat menyerahkan Supersemar kepada Letjen Soeharto, melalui tiga jenderal yang menjadi utusan.
Ketiga jenderal itu adalah Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen Muhammad Jusuf, dan Brigjen Amirmachmud. Versi lain menyebut kehadiran jenderal keempat, Mayjen Maraden Panggabean.
Versi kehadiran Maraden Panggabean itu diungkap mantan penjaga keamanan Istana Bogor, Sukarjo Wilardjito.
Menurut mantan Kepala Arsip Nasional RI, M Asichin, dalam wawancara kepada Arsip Nasional RI pada 2005, Sukarjo bahkan mengaku menyaksikan penodongan kepada Soekarno oleh Panggabean.
Baca juga: Wawancara Asvi Warman Adam: Supersemar Mungkin Blunder Bung Karno
Asvi meragukan kebenaran cerita Sukarjo. Menurut dia, yang bisa mendekat ke ring 1 Presiden Soekarno bukan orang sembarangan.
"Tidak mungkin juga ada jenderal yang berani menodong Soekarno. Saya juga tidak yakin Panggabean itu berani," ujar Asvi.
Istilah dipaksa dianggap Asvi tidak tepat. Soekarno dianggap lebih tepat disebut berada dalam tekanan.
"Tidak hanya oleh tiga orang jendral, tapi oleh serangkaian kejadian dan peristiwa yang menyebabkan Soekarno tidak punya pilihan lain selain Soeharto," ucapnya.
Asvi memiliki istilah sendiri untuk situasi itu, kudeta merangkak.
Soeharto sendiri sudah membantah mengenai tuduhan kudeta.
Dikutip dari arsip Harian Kompas, Soeharto yang saat itu menjabat presiden mengatakan bahwa Supersemar hanya digunakan untuk membubarkan PKI dan menegakkan kembali wibawa pemerintahan.
"Saya tidak pernah menganggap Surat Perintah 11 Maret sebagai tujuan untuk memperoleh kekuasaan mutlak. Surat Perintah 11 Maret juga bukan merupakan alat untuk mengadakan kup terselubung," dikutip dari Harian Kompas, 11 Maret 1971.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.