Soekarno lalu memutuskan untuk terbang ke Bogor dengan helikopter.
"Jika kondisinya masih normal, Bung Karno akan tetap di Istana Negara. Artinya, kondisi pada saat itu sudah sangat meruncing dan panas," ujar Asvi Warman Adam dalam wawancara dengan Kompas.com pada 6 Maret 2016.
Baca juga: Naskah Asli Supersemar yang Masih Menjadi Misteri
Melihat rawannya situasi saat itu, penjelasan Soekarno mengenai Supersemar itu pun memiliki konteks yang bisa dipahami.
Surat Perintah itu ditulis Soekarno untuk menjamin keselamatan dirinya, juga keluarga.
"Itu juga perintah pengamanan pribadi presiden, perintah pengamanan wibawa presiden, perintah pengamanan ajaran presiden, perintah pengamanan beberapa hal. Dan Jenderal Soeharto telah melaksanakan perintah itu dengan baik," ujar Soekarno dalam "Jasmerah".
Asvi Warman Adam menilai perintah Presiden Soekarno itu ditafsirkan berbeda oleh Soeharto.
Penafsiran yang berbeda itu pertama kali diimplementasikan saat Soeharto membuat Surat Kebijakan Nomor 1/3/1966 atas nama Presiden Soekarno, untuk membubarkan PKI.
Soeharto dianggap keliru dalam menafsirkan frasa "mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya revolusi".
"Itu yang dijadikan dasar untuk pembubaran PKI. Jadi sangat sakti surat itu," tutur Asvi.
Soekarno, dalam penuturan Asvi, marah terhadap keputusan Soeharto. Surat keputusan untuk membubarkan PKI diminta Soekarno untuk segera dicabut.
Namun, Soeharto menolak. Di titik inilah dugaan Supersemar menjadi "alat kudeta" muncul.
"Soekarno melihat kekeliruan di situ, tapi Soeharto tetap melanjutkan yang dilakukannya," tutur Asvi.
Baca juga: Wawancara Asvi Warman Adam, Soekarno Tidak Hanya Dilemahkan...
Tidak hanya marah, Soekarno kemudian membuat surat perintah baru yang menyatakan Supersemar itu tidak sah. Surat perintah itu dibuat pada 13 Maret 1966, yang dikenal dengan sebutan Supertasmar.
Keberadaan mengenai Supertasmar itu terungkap di biograi AM Hanafi, mantan Duta Besar di Kuba, yang berjudul Menggugat Kudeta Jenderal Soeharto: Dari Gestapu ke Supersemar (1998).
AM Hanafi menjelaskan, Supertasmar itu mengumumkan bahwa Supersemar bersifat administratif/teknis, dan tidak politik.