JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin mendesak pemerintah untuk segera melakukan revisi terhadap Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Hal tersebut ia sampaikan saat memenuhi undangan dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Rabu (10/3/2021).
Ia meminta revisi dilakukan terhadap sejumlah pasal yang mengancam kebebasan pers.
"Kebebasan pers merupakan salah satu pilar penting sebuah negara hukum dan demokrasi. Oleh karena itu perlindungannya harus dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku," kata Ade dalam keterangannya, Rabu.
Baca juga: AJI Minta Pemerintah Serius soal Revisi UU ITE
LBH Pers memberikan beberapa catatan terhadap pasal-pasal yang dinilai bermasalah dalam UU ITE.
Terdapat lima pasal dalam UU ITE yang dinilai LBH Pers berpotensi menghambat kebebasan pers di antaranya Pasal 26 ayat (3), Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3), Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2), Pasal 36, dan Pasal 40 ayat (2b).
Ade menuturkan, Pasal 26 ayat (3) tentang penghapusan informasi elektronik berpotensi bertabrakan dengan UU Pers dan UU Keterbukaan Informasi Publik serta sejumlah peraturan perundang-undangan lain yang menjamin hak publik atas informasi dan kebebasan berekspresi.
Menurutnya, ketidakjelasan rumusan "informasi yang tidak relevan" dalam pasal tersebut, dapat digunakan untuk melanggengkan fenomena impunitas kejahatan dalam kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat, korupsi, atau kekerasan seksual.
Sebab, ia menilai hal itu dapat membuka peluang bagi pelaku termasuk pejabat publik untuk mengajukan penghapusan informasi tersebut, termasuk informasi yang diproduksi pers.
"Kedua, pasal pencemaran nama baik dan penghinaan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3). Pasal ini menambah risiko kriminalisasi terhadap wartawan yang melakukan kerja jurnalistik dengan tuduhan pencemaran dan penghinaan," ungkap Ade.
Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil: Ketidakadilan UU ITE Sangat Mudah Ditemukan
Ade berpandangan, rumusan pasal itu terlalu luas sehingga kerap digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat di ruang online, tak terkecuali wartawan.
Ia mencontohkan beberapa kasus wartawan yang terjerat UU ITE Pasal 27 ayat 3 seperti wartawan Mediarealitas.com M Reza yang divonis 1 tahun penjara karena terbukti bersalah usai menulis berita tentang dugaan penyalahgunaan wewenang.
"Jika melihat dari kasus-kasus di atas, serangan balik kepada wartawan saat melakukan kerja wartawan sangat nyata. Dan pasal 27 ayat (3) UU ITE menjadi salah satu peraturan yang berkontribusi memuluskan serangan balik kepada kebebasan pers," tuturnya.
Kemudian, pasal tentang ujaran kebencian yang diatur dalam Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) UU ITE.
Ade mengatakan, seharusnya pasal tersebut dirumuskan sesuai dengan tujuan awal perumusan tindak pidana tentang propaganda kebencian.