JAKARTA, KOMPAS.com – Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) Damar Juniarto mengatakan, ketidakadilan akibat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sangat mudah ditemukan.
Bahkan, kata Damar, praktik ketidakadilan masih terjadi sampai hari ini. Hal tersebut ia sampaikan saat memberikan masukan kepada Tim Kajian Revisi UU ITE yang dibentuk Kementerian Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam).
Damar mencontohkan kasus yang tengah ditangani Safenet di Sumatera Barat terkait pasal mengenai ujaran kebencian. Menurutnya, pendekatan restorative justice (keadilan restoratif) tidak berjalan seperti permintaan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam penyelesaian kasus terkait UU ITE.
“UU ITE justru menjerat mereka berdua menggunakan media sosial untuk mendapatkan keadilan dengan pasal ujaran kebencian. Pendekatan restorative justice yang dikumandangkan Kapolri Listyo Sigit tidak berjalan di Polda Sumbar,” ujar Damar dalam keterangan tertulis, Selasa (9/3/2021).
Baca juga: Revisi UU ITE Dinilai Jadi Tantangan Pemerintah
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid meminta pemberian amnesti oleh pemerintah kepada masyarakat yang sedang menjalani hukuman karena UU ITE.
Selain itu ia meminta proses hukum yang sedang berjalan dihentikan sementara. Kemudian, pembebasan tanpa syarat terhadap tahanan yang dijerat UU ITE meski putusannya telah berkekuatan hukum tetap.
“Selama menunggu kajian dan kepastian revisi UU ITE, segenap jajaran Kemenko Polhukam dapat menimbang tiga usulan,” tutur Usman.
Baca juga: Revisi UU ITE Tak Masuk Prolegnas Prioritas 2021
Menurut Usman, aparat penegak hukum dapat menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SP3) dan Surat Penghentian Penuntutan (SKP2) di kejaksaan.
Sebab, saat ini UU ITE sedang dalam proses kajian pemerintah.
Dalam pertemuan dengan Tim Kajian Revisi UU ITE itu hadir pula sejumlah organisasi masyarakat sipil, antara lain Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).
Adapun wacana revisi UU ITE digaungkan pertama kali oleh Presiden Joko Widodo saat memberikan arahan pada Rapat Pimpinan (Rapim) TNI-Polri di Istana Negara, Jakarta, pada 15 Februari 2021.
Jokowi meminta revisi UU ITE dilakukan untuk bisa menjamin keadilan pada masyarakat.
Baca juga: Revisi UU ITE Tak Masuk Prolegnas Prioritas 2021, Safenet: Mengecewakan
Permintaan Jokowi tersebut direspons oleh Kapolri Listyo Sigit Prabowo dengan mengeluarkan Surat Telegram yang berisi pedoman penanganan perkara tindak pidana kejahatan siber yang menggunakan UU ITE.
Kemudian Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate menyebut bahwa pemerintah tengah menyusun pedoman interpretasi resmi atas UU ITE.
Namun demikian, dalam rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR, Selasa, pemerintah dan DPR sepakat tidak memasukkan UU ITE dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021.