"KONGRES Luar Biasa Partai Demokrat menimbang dan memperhatikan bahwa putusan menetapkan pertama, dari dua calon, atas voting berdiri, maka Pak Moeldoko ditetapkan menjadi Ketua Umum Partai Demokrat."
Keputusan itu dibacakan Jhoni Allen Marbun, pimpinan sidang Kongres Luar Biasa Partai Demokrat, Jumat (5/3/2021). Kepala Kantor Staf Presiden ini dipilih meski tak hadir di arena kongres yang digelar di Hotel The Hill Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara.
Baca juga: Tersedu-sedu, Darmizal Mengaku Menyesal Pernah Dukung SBY Jadi Ketum Demokrat
Moeldoko pun langsung menerima tawaran tersebut meski sempat basa basi menanyakan soal legalitas KLB dan keseriusan peserta kongres memilihnya sebagai ketua umum.
Selain memilih ketua umum dan sejumlah pengurus lain, KLB yang dinilai ilegal ini juga membatalkan hasil kongres Partai Demokrat sebelumnya dan menetapkan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dinyatakan telah demisioner.
KLB yang digelar di Deli Serdang ini merupakan puncak dari upaya menggulingkan AHY dan pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat dari tangan anak sulung mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tersebut.
Baca juga: Parpol Dinilai Wajar Khawatir jika Moeldoko Disahkan Negara Jadi Ketum Demokrat, Mengapa?
Sebelumnya, AHY sudah mencium bau tak sedap terkait upaya pengambilalihan kepemimpinan partai secara paksa ini. Dia pun langsung memecat sejumlah kader Partai Demokrat yang terlibat dalam upaya kudeta tersebut.
Kudeta yang diinisiasi sejumlah kader senior Partai Demokrat ini berawal dari kekecewaan sejumlah kader partai besutan SBY ini. Mereka tak puas dengan kepemimpinan AHY.
Ketidakpuasan itu kabarnya terkait dengan kebijakan AHY yang dinilai mengabaikan para senior partai hingga soal pungutan dan kegagalan Demokrat dalam Pilkada Serentak 2020.
AHY dianggap tak mampu memimpin partai ke depan dengan tantangan mencapai parliament threshold 5 persen atau 7 persen.
Baca juga: Demokrat Bantah Klaim Darmizal Berjasa Menangkan SBY Jadi Ketum
Selain itu, keputusan SBY mengubah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat pada Kongres keempat, Mei 2015 juga dinilai jadi pemicu. Pasalnya, SBY yang terpilih menjadi Ketua Umum mengubah AD/ART tanpa persetujuan peserta kongres.
Di antaranya mencabut wewenang di Dewan Pimpinan Cabang (DPC) dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dalam memilih ketua. DPC dan DPD hanya bisa mengusulkan nama, namun yang menentukan adalah Dewan Pimpinan Pusat (DPP).
Keterlibatan Moeldoko dalam pusaran konflik Partai Demokrat memicu banyak spekulasi. Ada yang menduga ia main sendiri. Namun ada juga yang menuding ada keterlibatan Presiden Jokowi. Pasalnya, Jokowi dinilai membiarkan manuver mantan panglima TNI ini.
Baca juga: Nazaruddin, Mantan Bendum Demokrat yang Disebut Bagi-bagikan Uang ke Peserta KLB Kontra-AHY
Moeldoko dianggap memanfaatkan kekecewaan sejumlah kader Partai Demokrat demi kontestasi Pilpres 2024. Partai Demokrat bisa menjadi kendaraan politik untuk bisa maju dan bersaing di Pilpres 2024.
Ia tak perlu repot mendirikan dan membesarkan partai. Rekam jejak Partai Demokrat yang pernah menang Pemilu juga menjadi jadi poin lebih bagi Moeldoko.
Presiden Jokowi juga dinilai diuntungkan dengan posisi Moeldoko di Partai Demokrat hasil KLB ini. Karena, keberadaan orang dekat Jokowi di Partai Demokrat akan mengurangi kebisingan yang selama ini disuarakan partai yang tak masuk dalam koalisi pendukung pemerintah ini.
Baca juga: Benny K Harman Sebut Pengurus Demokrat Diancam Intelijen, Polri: Kami Tidak Berpolitik
Meski tak sekeras Partai Keadilan Sejahtera, selama ini Partai Demokrat kerap melontarkan kritik-kritik pedas pada pemerintahan Jokowi.
Partai Demokrat kubu KLB Deli Serdang mengklaim sudah menyerahkan hasil kongres ke Kementerian Hukum dan HAM. Sementara, AHY dan jajarannya juga sudah menyambangi kementerian yang sama guna menyerahkan sejumlah berkas ke Direktorat Jenderal Adminsitrasi Hukum Umum Kemenkumham.
Itu dilakukan untuk membuktikan KLB yang digelar kubu kontra-AHY di Deli Serdang, Sumatera Utara, tidak sah dan ilegal.
Kisruh di tubuh Partai Demokrat ini mengingatkan kita pada kasus yang menimpa Partai Demokrasi Indonesia dan Partai Persatuan Pembangunan di era Orde Baru.
Kita semua mafhum, Orde Baru melakukan politik pecah belah itu guna meredam kritik dan mengamankan Golongan Karya yang menjadi partai penyokong pemerintah saat itu.
Saat ini, bola ada di pemerintah, khususnya di Kemenkumham. Independensi dan profesionalitas Kemenkumhan dalam memutus dan menyelesaikan konflik di tubuh Partai Demokrat akan menentukan sikap dan posisi pemerintah dalam kisruh yang terjadi di partai tersebut.
Siapa yang sebenarnya diuntungkan dari konflik di tubuh Partai Demokrat ini? Bagaimana sikap pemerintah menyikapi kisruh di Demokrat tersebut? Apa benar Jokowi membiarkan manuver Moeldoko karena merasa diuntungkan?
Saksikan pembahasannya dalam talkshow Satu Meja The Forum, Rabu (10/3/2021), yang disiarkan langsung di Kompas TV mulai pukul 20.00 WIB.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.