JAKARTA, KOMPAS.com - Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar menilai sejumlah aturan undang-undang belum memadai untuk melindungi korban kekerasan seksual.
Indra mengungkapkan, secara yuridis, Indonesia memiliki tiga UU terkait penghapusan kekerasan seksual antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Kendati demikian aturan tersebut kurang fokus pada pemenuhan hak dan pemulihan psikologis korban.
"Aturan yang terdapat dalam ketiga undang-undang tersebut belum memadai karena fokus pada aspek pidana dan pemidanaan pelaku kekerasan seksual," kata Indra dalam diskusi bertajuk Bergerak Bersama Mewujudkan UU Penghapusan Kekerasan Seksual, Selasa (9/3/2021).
Baca juga: Menteri PPPA Minta Dukungan Kemenkumham soal Pengesahan RUU PKS
Selain itu, Indra mengatakan, selama ini penegakan hukum kasus kekerasan seksual terkendala oleh terbatasnya definisi kekerasan seksual dalam hukum formal.
Dari 15 definisi kekerasan seksual menurut Komnas Perempuan, belum semuanya dapat diproses melalui sistem peradilan pidana.
"Istilah kekerasan seksual tidak dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Meskipun demikian, beberapa pasal dalam KUHP ada yang mengatur mengenai kejahatan seksual yang didefinisikan sebagai setiap aktivitas seksual yang dilakukan orang lain terhadap perempuan," kata Indra.
Oleh karena itu, ia mendukung pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Tujuannya, untuk melindungi dan merehabilitasi korban, serta mencegah terjadinya kekerasan seksual.
Baca juga: KSP: Saat ini yang Paling Mendesak adalah Pengesahan RUU PKS
Indra menekankan, DPR dan Pemerintah berkomitmen untuk mendukung RUU PKS dengan memasukkan rancangan itu dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021.
Namun di sisi lain, kata Indra, UU merupakan sebuah produk politik dan banyak faktor dari internal maupun eksternal yang turut menentukan pembahasan.
"DPR mengharapkan kerja sama dan dukungan dari semua pihak, termasuk dari masyarakat, perorangan termasuk dari organisasi kemasyarakatan untuk bersama bergerak mewujudkan sebuah UU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual," ucap Indra.
Adapun RUU PKS menjadi salah satu rancangan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR sebagai Prolegnas Prioritas 2021.
Meski sudah mendapat persetujuan dari pemerintah, Prolegnas Prioritas 2021 belum juga disahkan hingga saat ini.
RUU PKS juga sempat masuk dalam Prolegnas Prioritas 2020, tetapi kembali dikeluarkan oleh Baleg DPR pada Juli 2020.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.