Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Neni Nur Hayati
Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership

Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia. Anggota Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tarik Ulur RUU Pemilu

Kompas.com - 09/03/2021, 11:13 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

WACANA perdebatan pro-kontra antar-fraksi di DPR masih terus terjadi terkait dengan revisi Undang-Undang Pemilu yang sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) Prioritas Tahun 2021.

Ada yang menganggap perlu merevisinya sebagian, tetapi jangan mengubah jadwal pelaksanaan Pilkada 2024, ada pula fraksi yang menganggap tidak perlu sama sekali dilakukan revisi.

Fraksi partai yang tetap ingin revisi UU Pemilu dilakukan karena menyadari masih terdapat kekurangan yang harus dibenahi. Perbaikan perlu dilakukan karena ada evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah dan KPU yang hanya bisa diselesaikan dengan revisi UU Pemilu (Djohermansyah, 2021).

Secara terpisah, pemerintah menginginkan gelaran pilkada dilaksanakan secara serentak pada 2024. Tidak perlu dilakukan revisi, mengingat pandemi virus Covid yang belum mereda, negara membutuhkan tenaga ekstra untuk menanggulangi serangan virus mematikan yang mengancam jiwa manusia.

Alasan lain dari fraksi yang menolak ialah UU Pemilu dan UU Pilkada masih relevan untuk digunakan sehingga tidak perlu ada kodifikasi kedua UU tersebut.

Lalu, sebetulnya, sejauh mana urgensi revisi UU Pemilu perlu untuk dilakukan?

Terlepas dari alasan kepentingan politik apapun di DPR dan pemerintah, perlu kiranya penulis sebagai civil society menilai dengan cermat dan objektif atas hal ini.

Dalam revisi UU Pemilu, tidak hanya isu keserentakan yang menjadi problem krusial, tapi juga ada banyak isu lain seperti sistem pemilu, kelembagaan, manajemen dan keadilan electoral serta penegakan hukum pemilu.

Revisi ini tentu saja bukan hanya untuk jangka pendek kepentingan elite dan subjektivitas partai politik, melainkan untuk jangka panjang lima kali pemilu yang akan datang guna memperbaiki kualitas demokrasi. Ke depan tidak perlu lagi ada revisi-revisi UU dalam setiap pemilu.

Oleh karenanya, revisi UU Pemilu menjadi kebutuhan mendesak untuk mengatasi sejumlah problematika kepemiluan yang kerapkali terjadi dan berulang. Terdapat banyak pasal yang harus dibenahi khususnya terkait dengan pengaturan mengenai keserentakan pemilu sebagaimana telah diputuskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU-XVII/2019.

Pemilu 2019 lalu, semestinya dapat menjadi pembelajaran yang sangat berharga dengan gugurnya nyawa ratusan penyelenggara pemilu karena kelelahan dengan lima surat suara.

Jika pemilu nasional dan daerah digelar serentak di tahun 2024, meski memang tidak dalam waktu yang sama, pileg dan pilpres pada April 2024, sementara pilkada November 2024, tetapi hal ini tetap saja akan sangat menguras energi. Sangat rumit dan kompleks dengan jeda waktu yang pendek.

Belum lagi persiapan dan pengelolaan tata keola pemilu. Maka, penyelenggaraan pemilu di tahun yang sama sekali tidak rasional.

Desain kelembagaan

Selain itu, revisi UU Pemilu penting untuk melakukan pembenahan pada desain lembaga penyelenggara pemilu yakni KPU, Bawaslu, dan DKPP agar tidak saling menegasikan adanya rivalitas, sinergitas, dan tidak memperlihatkan egosentris masing-masing lembaga. Mesti ada kewenangan yang jelas antar lembaga penyelenggara pemilu.

Sejatinya, desain penyelenggara pemilu diarahkan untuk mencapai tiga tujuan. Pertama, pengumuman hasil pemilu yang lebih cepat. Kedua, hasil pemilu yang kredibel dan dipercaya.

Ketiga, pemilu diselenggarakan dengan partisipasi pemilih yang tinggi dan inklusif. Bawaslu dapat ditransformasi menjadi lembaga komisi penegak hukum pemilu.

Dalam hal ini, Bawaslu menegakkan ketentuan administrasi, menyelesaikan sengketa proses pemilu, serta menjadi penyidik dan penuntut untuk pidana pemilu (Surbakti, 2021). Sementara untuk pengawasan dikembalikan kepada masyarakat, media, dan pemantau pemilu.

Adapun DKPP, ke depan hanya dibatasi hanya pada persoalan etik, dan tidak ikut menilai pelaksanaan administrasi kepemiluan serta tidak berpola penghakiman atau pengambilan putusan dengan majelis, sebab, pelanggaran etik yang ditangani dengan skema peradilan dipandang menyeret persoalan etik ke ranah hukum (Anggraini, 2021).

Dengan seperti ini, harapannya tidak ada lagi sistem yang dapat memecah belah penyelenggara dan terjadi tumpeng tindih.

Ambang batas parlemen

Hal yang tidak kalah pentingnya dari revisi UU Pemilu ini adalah ambang batas parlemen (parliamentary threshold). Perubahan sikap dari beberapa fraksi partai salah satunya dipicu oleh rencana kenaikan ambang batas.

Besar kecilnya PT akan sangat berpengaruh terhadap konversi perolehan suara partai politik ke kursi legislatif. Ini menjadi syarat utama yang harus dilalui partai politik untuk mendapatkan kursi.

Diketahui bahwa dalam draft RUU Pemilu mengatur tiga besaran PT untuk tiga level pemilu legislatif yang berbeda-beda. Untuk Pemilu DPR besaran PT 5 persen, Pemilu DPRD Provinsi besaran PT 4 persen, sedangkan untuk DPRD Kabupaten/Kota besaran PT 3 persen.

Semakin besar PT ini akan sangat berdampak pada terbuangnya suara pemilih dan perolehan suara partai yang tidak masuk PT. Meskipun tujuannya adalah untuk menyederhanakan sistem kepartaian.

Jumlah partai di Indonesia, berdasarkan kategori Siaroff (2000), termasuk sistem multipartai ekstrem karena partainya enam atau lebih. Namun, jangan sampai penggunaan ambang batas parlemen yang terlalu besar dan besaran dapil yang terlalu kecil mengakibatkan sejumlah aspirasi penting dalam masyarakat tidak terwakili secara formal di DPR (Hanan, 2021).

Maka, penentuan besaran PT semestinya dapat diatur secara proporisonal dengan mempertimbangkan aspek proporsionalitas hasil pemilu.

Penegakan hukum

Pelu kiranya dalam Revisi UU Pemilu juga menjawab persoalan maraknya politik uang dan mahar politik yang acapkali terjadi dalam setiap pemilihan. Hal ini mendesak untuk segera dibenahi dan diperkuat dengan regulasi.

Ada banyak kasus pelanggaran yang terhenti atau tidak dilanjutkan karena tidak memenuhi syarat formil dan materil serta terdapat pasal kekosongan hukum. Lemahnya penegakan hukum jadi salah satu penyebab praktik itu masih terus terjadi.

Oleh karena itu, mengingat ada banyaknya isu krusial yang perlu diperbaiki secara mendesak dalam revisi UU Pemilu, tarik ulur antar fraksi harus segera diakhiri. Jangan hanya memikirkan untuk kepentingan pribadi dan kelompok, tapi kepentingan khalayak publik untuk masa depan demokrasi di Indonesia mesti diprioritaskan.

Perlu kiranya ada titik temu antara fraksi partai di DPR dan menghasilkan solusi tepat dan bijak. Sebab, demokrasi sejatinya adalah "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Jangan sampai rakyat menjadi kerdil karena absurdnya mesin demokrasi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pakar Hukum Dorong Percepatan 'Recovery Asset' dalam Kasus Korupsi Timah yang Libatkan Harvey Moeis

Pakar Hukum Dorong Percepatan "Recovery Asset" dalam Kasus Korupsi Timah yang Libatkan Harvey Moeis

Nasional
Sidak ke Kalteng, Satgas Pangan Polri Minta Pasar Murah Diintensifkan Jelang Lebaran

Sidak ke Kalteng, Satgas Pangan Polri Minta Pasar Murah Diintensifkan Jelang Lebaran

Nasional
Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Nasional
Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Nasional
TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

Nasional
Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Nasional
Pakar Hukum Duga Ada 'Orang Kuat' Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Pakar Hukum Duga Ada "Orang Kuat" Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Nasional
Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia 'The New Soekarno'

Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia "The New Soekarno"

Nasional
TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

Nasional
Terseretnya Nama Jokowi dalam Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Terseretnya Nama Jokowi dalam Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Nasional
Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Nasional
Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Nasional
Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Nasional
Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Nasional
Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com