WACANA perdebatan pro-kontra antar-fraksi di DPR masih terus terjadi terkait dengan revisi Undang-Undang Pemilu yang sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) Prioritas Tahun 2021.
Ada yang menganggap perlu merevisinya sebagian, tetapi jangan mengubah jadwal pelaksanaan Pilkada 2024, ada pula fraksi yang menganggap tidak perlu sama sekali dilakukan revisi.
Fraksi partai yang tetap ingin revisi UU Pemilu dilakukan karena menyadari masih terdapat kekurangan yang harus dibenahi. Perbaikan perlu dilakukan karena ada evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah dan KPU yang hanya bisa diselesaikan dengan revisi UU Pemilu (Djohermansyah, 2021).
Secara terpisah, pemerintah menginginkan gelaran pilkada dilaksanakan secara serentak pada 2024. Tidak perlu dilakukan revisi, mengingat pandemi virus Covid yang belum mereda, negara membutuhkan tenaga ekstra untuk menanggulangi serangan virus mematikan yang mengancam jiwa manusia.
Alasan lain dari fraksi yang menolak ialah UU Pemilu dan UU Pilkada masih relevan untuk digunakan sehingga tidak perlu ada kodifikasi kedua UU tersebut.
Lalu, sebetulnya, sejauh mana urgensi revisi UU Pemilu perlu untuk dilakukan?
Terlepas dari alasan kepentingan politik apapun di DPR dan pemerintah, perlu kiranya penulis sebagai civil society menilai dengan cermat dan objektif atas hal ini.
Dalam revisi UU Pemilu, tidak hanya isu keserentakan yang menjadi problem krusial, tapi juga ada banyak isu lain seperti sistem pemilu, kelembagaan, manajemen dan keadilan electoral serta penegakan hukum pemilu.
Revisi ini tentu saja bukan hanya untuk jangka pendek kepentingan elite dan subjektivitas partai politik, melainkan untuk jangka panjang lima kali pemilu yang akan datang guna memperbaiki kualitas demokrasi. Ke depan tidak perlu lagi ada revisi-revisi UU dalam setiap pemilu.
Oleh karenanya, revisi UU Pemilu menjadi kebutuhan mendesak untuk mengatasi sejumlah problematika kepemiluan yang kerapkali terjadi dan berulang. Terdapat banyak pasal yang harus dibenahi khususnya terkait dengan pengaturan mengenai keserentakan pemilu sebagaimana telah diputuskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU-XVII/2019.
Pemilu 2019 lalu, semestinya dapat menjadi pembelajaran yang sangat berharga dengan gugurnya nyawa ratusan penyelenggara pemilu karena kelelahan dengan lima surat suara.
Jika pemilu nasional dan daerah digelar serentak di tahun 2024, meski memang tidak dalam waktu yang sama, pileg dan pilpres pada April 2024, sementara pilkada November 2024, tetapi hal ini tetap saja akan sangat menguras energi. Sangat rumit dan kompleks dengan jeda waktu yang pendek.
Belum lagi persiapan dan pengelolaan tata keola pemilu. Maka, penyelenggaraan pemilu di tahun yang sama sekali tidak rasional.
Selain itu, revisi UU Pemilu penting untuk melakukan pembenahan pada desain lembaga penyelenggara pemilu yakni KPU, Bawaslu, dan DKPP agar tidak saling menegasikan adanya rivalitas, sinergitas, dan tidak memperlihatkan egosentris masing-masing lembaga. Mesti ada kewenangan yang jelas antar lembaga penyelenggara pemilu.
Sejatinya, desain penyelenggara pemilu diarahkan untuk mencapai tiga tujuan. Pertama, pengumuman hasil pemilu yang lebih cepat. Kedua, hasil pemilu yang kredibel dan dipercaya.
Ketiga, pemilu diselenggarakan dengan partisipasi pemilih yang tinggi dan inklusif. Bawaslu dapat ditransformasi menjadi lembaga komisi penegak hukum pemilu.
Dalam hal ini, Bawaslu menegakkan ketentuan administrasi, menyelesaikan sengketa proses pemilu, serta menjadi penyidik dan penuntut untuk pidana pemilu (Surbakti, 2021). Sementara untuk pengawasan dikembalikan kepada masyarakat, media, dan pemantau pemilu.
Adapun DKPP, ke depan hanya dibatasi hanya pada persoalan etik, dan tidak ikut menilai pelaksanaan administrasi kepemiluan serta tidak berpola penghakiman atau pengambilan putusan dengan majelis, sebab, pelanggaran etik yang ditangani dengan skema peradilan dipandang menyeret persoalan etik ke ranah hukum (Anggraini, 2021).
Dengan seperti ini, harapannya tidak ada lagi sistem yang dapat memecah belah penyelenggara dan terjadi tumpeng tindih.
Hal yang tidak kalah pentingnya dari revisi UU Pemilu ini adalah ambang batas parlemen (parliamentary threshold). Perubahan sikap dari beberapa fraksi partai salah satunya dipicu oleh rencana kenaikan ambang batas.
Besar kecilnya PT akan sangat berpengaruh terhadap konversi perolehan suara partai politik ke kursi legislatif. Ini menjadi syarat utama yang harus dilalui partai politik untuk mendapatkan kursi.
Diketahui bahwa dalam draft RUU Pemilu mengatur tiga besaran PT untuk tiga level pemilu legislatif yang berbeda-beda. Untuk Pemilu DPR besaran PT 5 persen, Pemilu DPRD Provinsi besaran PT 4 persen, sedangkan untuk DPRD Kabupaten/Kota besaran PT 3 persen.
Semakin besar PT ini akan sangat berdampak pada terbuangnya suara pemilih dan perolehan suara partai yang tidak masuk PT. Meskipun tujuannya adalah untuk menyederhanakan sistem kepartaian.
Jumlah partai di Indonesia, berdasarkan kategori Siaroff (2000), termasuk sistem multipartai ekstrem karena partainya enam atau lebih. Namun, jangan sampai penggunaan ambang batas parlemen yang terlalu besar dan besaran dapil yang terlalu kecil mengakibatkan sejumlah aspirasi penting dalam masyarakat tidak terwakili secara formal di DPR (Hanan, 2021).
Maka, penentuan besaran PT semestinya dapat diatur secara proporisonal dengan mempertimbangkan aspek proporsionalitas hasil pemilu.
Pelu kiranya dalam Revisi UU Pemilu juga menjawab persoalan maraknya politik uang dan mahar politik yang acapkali terjadi dalam setiap pemilihan. Hal ini mendesak untuk segera dibenahi dan diperkuat dengan regulasi.
Ada banyak kasus pelanggaran yang terhenti atau tidak dilanjutkan karena tidak memenuhi syarat formil dan materil serta terdapat pasal kekosongan hukum. Lemahnya penegakan hukum jadi salah satu penyebab praktik itu masih terus terjadi.
Oleh karena itu, mengingat ada banyaknya isu krusial yang perlu diperbaiki secara mendesak dalam revisi UU Pemilu, tarik ulur antar fraksi harus segera diakhiri. Jangan hanya memikirkan untuk kepentingan pribadi dan kelompok, tapi kepentingan khalayak publik untuk masa depan demokrasi di Indonesia mesti diprioritaskan.
Perlu kiranya ada titik temu antara fraksi partai di DPR dan menghasilkan solusi tepat dan bijak. Sebab, demokrasi sejatinya adalah "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Jangan sampai rakyat menjadi kerdil karena absurdnya mesin demokrasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.