Di ruang pengendali utama itu ada layar super bersar, melebihi ukuran layar bioskop. Mereka yang berada di ruangan ini adalah anggota Polri yang terlatih di bidang teknologi informasi.
Pada layar yang super besar itu terpampang garis-garis berwarna yang menandakan dugaan kejahatan yang termonitor secara realtime di sejumlah negara di dunia.
Macam-macam bentuk kejahatannya. Ada yang mencuri data, malware, atau menyusupkan mesin algoritma di perangkat korban. Dan yang luar biasa, walaupun kita berada di Indonesia, tapi sistem ini bisa mendeteksi lalu lintas dugaan yang terindikasi kejahatan ini di negara-negara lain.
Garis-garis berwarna di peta Indonesia nyaris tidak ada alias sangat sedikit. Garis berwarna banyak nampak di negara-negara asia bagian tengah dan timur, Eropa bagian selatan, sebagian Amerika Selatan dan sebagian kecil Afrika.
Saya kembali ke isu dihidupkannya polisi virtual. Saya bertanya kepada Brigjen Slamet, apa yang akan dilakukan dengan Polisi Virtual ini? Bagaimana prosesnya? Mana yang perlu dipilah masuk ke kasus hukum dan mana yang tidak? Bagaimana dengan transparansi berkeadilan alias keberimbangan yang jadi tantangan?
Jangan sampai ada kesan yang mendukung penguasa tak dilanjutkan prosesnya, sebaliknya yang mengkritik pemerintah cepat dilakukan?
Semua pertanyaan lengkap ini, saya ajukan di program AIMAN.
Tapi, beberapa di antaranya saya beroleh jawaban. Polisi Virtual adalah sistem yang dibangun untuk menempatkan proses hukum dari pelaksanaan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagai jalan terakhir (ultimum remedium).
Ada proses bertingkat yang dilakukan. Pertama jika ditemukan adanya indikasi dugaan pelanggaran UU ITE maka petugas patroli polisi virtual akan melaporkan kepada pimpinan. Kemudian bentuk indikasi dugaan tersebut diuji di hadapan ahli bahasa hingga ahli pidana.
Setelah dinyatakan valid bahwa ada dugaan pelanggaran, proses selanjutnya adalah mengirim pesan teguran kepada akun yang terindikasi melanggar tersebut melalui pesan privat (Direct Message).
"Ini supaya yang bersangkutan, tidak dipermalukan di hadapan publik!" jelas Brigjen Slamet.
Teguran ini berupa pesan bahwa ada potensi pelanggaran Undang-undang ITE. Pemilik akun diminta untuk menghapusnya. Jika sudah dihapus, proses dihentikan. Selesai.
Meski demikian record alias catatan atas unggahan sebelumnya yang mengandung dugaan pelanggaran pidana tetap tersimpan di arsip Tipidsiber Bareskrim Polri.
Pada kasus lainnya, jika dua kali diminta untuk menghapus tapi tidak dihapus juga, maka akan dikirimkan surat resmi kepada yang bersangkutan.
Jika surat resmi tak diindahkan maka akan dilakukan pemanggilan untuk dimintai keterangan. Selanjutnya, proses hukum akan dijalankan hingga pengadilan.