JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menekankan pentingnya revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Sebab, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy menyebut sejumlah pasal dalam UU ITE multitafsir dan tidak memenuhi syarat legalitas.
Hal senada diungkapkan Erasmus. Ia mengatakan permasalahan dalam UU ITE bukan soal penafsiran, melainkan legalitas.
"Jadi Pak Wamenkumham sudah bilang begitu (tidak sesuai legalitas) maka kita mengkhianati akal sehat jika mengatakan tidak perlu direvisi," ujar Erasmus saat dihubungi Kompas.com, Kamis (4/3/2021).
Baca juga: Wamenkumham Sebut Ada 3 Pasal Multitafsir di UU ITE
Menurut Erasmus, UU ITE bermasalah pada asas legalitasnya. Maka yang seharusnya dilakukan pemerintah bukan membuat pedoman implementasi.
Ia menjelaskan, konteks asas legalitas terletak pada proses pembuatan peraturan perundang-undangan, bukan implementasi aturan.
"Misalnya, pasal tentang penggelapan dan penipuan itu sering salah diimplementasikan oleh kepolisian. Nah apakah pasalnya karet? Tidak, sesuai legalitas," kata Erasmus.
"Tapi Pasal di UU ITE ini tidak memenuhi asas legalitas. Harus direvisi," tutur dia.
Baca juga: Pemerintah Tak Akan Revisi Pasal UU ITE yang Dianggap Multitafsir
Sebelumnya, Eddy menilai Pasal 27, 28 dan 29 UU ITE multitafsir. Hal itu ia ungkapkan dalam diskusi bertajuk Penghinaan/Pencemaran Nama Baik Menurut KUHP, UU ITE, dan RUU KUHP, di Semarang, Jawa Tengah, Kamis (4/3/2021).
Eddy menjelaskan empat syarat suatu norma memenuhi syarat legalitas. Pertama, tidak ada pidana tanpa undang-undang sebelumnya.
Kedua tidak ada pidana tanpa undang-undang tertulis. Ketiga tidak ada pidana tanpa aturan undang-undang yang jelas, dan keempat, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang ketat.
Adapun Pasal 27, 28, dan 29 UU ITE tidak memenuhi syarat ketiga dan keempat.
"Sehingga benar yang dikatakan presiden, itu (Pasal 27, 28 dan 29) multitafsir," tegas Eddy.
Pasal multitafsir
Pasal 27 ayat (1) melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Frasa "melanggar kesusilaan" dinilai memiliki konteks dan batasan yang tidak jelas.
Terkait Pasal 28 ayat (2), ICJR menilai pasal ini tidak dirumuskan sesuai dengan tujuan awal perumusan tindak pidana tentang propaganda kebencian.
Pasal itu memuat larangan bagi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Sedangkan Pasal 29 mengatur tentang ancaman kekerasan.
Baca juga: ICJR: Revisi UU ITE Harus Menghilangkan Pasal Karet Bukan Membuat Pedoman Interpretasi
Adapun saat ini pemerintah telah membentuk tim kajian UU ITE di bawah koordinasi Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam).
Pemerintah membentuk dua tim sekaligus. Satu tim bertugas untuk membahas pedoman penerapan UU ITE sehingga tidak menjadi undang-undang dengan pasal karet yang bisa mengkriminalisasi masyarakat yang mengkritik.
Satu tim lagi bertugas untuk menyiapkan rencana revisi beberapa pasal yang dianggap multitafsir di UU ITE.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.