Padahal, karikatur tersebut dibuat untuk mengkritik dan mendesak Presiden Jokowi untuk segera menepati janjinya dalam menguatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menguatkan KPK itu penting karena praktik korupsi di Indonesia semakin merajalela. Tingginya praktik korupsi tercermin dari Indeks Persepsi Korupsi, di mana peringkat Indonesia turun dari 85 ke 102 pada tahun ini. Indonesia jauh di bawah Singapura, Malaysia, dan bahkan Timor Leste.
Slogan, karikatur, dan simbol sering digunakan oleh pekerja media sebagai metode nirkekerasan karena kritik, ide, dan pesan yang terkandung di dalam ketiga medium tersebut mudah dipahami, diingat, dan direplikasi oleh pembaca.
Jauh sebelum kasus Jerinx, Ravio, dan Hadi muncul, masyarakat telah dikejutkan dengan kasus penangkapan Saiful Mahdi, dosen Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, karena ia mengkritik hasil tes calon pegawai negeri sipil melalui aplikasi pesan instan pada tahun 2018.
Saiful dituduh mencemarkan nama baik dan divonis bersalah dengan hukuman pidana tiga bulan penjara dan denda Rp 10 juta karena ia dinilai melanggar pasal 27 ayat (3) dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Baca juga: Kasus Grup WhatsApp, Dosen Unsyiah Saiful Mahdi Divonis 3 Bulan Penjara
Banyaknya korban kriminalisasi kebebasan berekspresi di Indonesia menunjukkan bahwa pengkritik masih dipersepsikan sebagai lawan, dan kritik tidak dinilai sebagai bahan koreksi dan evaluasi.
Oleh karena itu, seluruh elemen masyarakat perlu terus mendesak Presiden Jokowi dan DPR melakukan tiga hal. Pertama, membebaskan korban kriminalisasi kebebasan berekspresi. Kedua, menghentikan penyidikan di kepolisian. Ketiga, merevisi dan mencabut pasal-pasal karet dalam UU ITE, yakni pasal 27 (1) tentang pelanggaran norma kesusilaan, pasal 27 (3) tentang pencemaran nama baik, dan pasal 28 (2) tentang ujaran kebencian dan SARA.
Untuk mendesak pemerintah, ada 198 bentuk aksi nirkekerasan yang bisa digunakan. Mungkin bentuk partisipasi paling sederhana ialah menandatangani petisi di www.change.org dan menjadi relawan di berbagai komunitas dan LSM yang memperjuangkan hak asasi manusia.
Berpartisipasi dalam aksi nirkekerasan mungkin tidak akan langsung mengubah keadaan.
Namun setidaknya, aksi nirkekerasan berkontribusi dalam menyadarkan masyarakat bahwa demokrasi tidak hanya sekedar sukses dalam menyelenggarakan pemilu secara rutin seperti apa yang selama ini dibanggakan oleh pemerintah, tetapi juga memastikan kultur demokrasi terbangun, di mana setiap orang bisa menyampaikan kritik dan gagasan tanpa ancaman dan rasa takut.
Pasal karet dalam UU ITE merupakan ancaman bagi kita semua. Kita juga bisa menjadi korban baru kriminalisasi kebebasan berekspresi walaupun kita bukan musisi seperti Jerinx, peneliti seperti Ravio, dan dosen seperti Hadi.
Samsul Bahri, seorang petani di Sumatera Utara, misalnya, dikriminalisasi dan ditahan sejak 10 Februari 2021 karena aksi nirkekerasannya dalam membela hak atas tanah di wilayah hutan provinsi.
Akademisi, aktivis, dan wartawan juga perlu meningkatkan kerja sama dalam mensosialisasikan 198 bentuk aksi nirkekerasan agar masyarakat paham bahwa unjuk rasa bukan satu-satunya metode nirkekerasan. Sosialisasi ini penting untuk menginspirasi masyarakat untuk mencoba 197 metode nirkekerasan lainnya.
Masyarakat perlu belajar dari aksi nirkekerasan dari penggemar K-Pop di Amerika Serikat yang memprotes kebijakan-kebijakan mantan presiden Donald Trump yang mendukung rasisme.
Pada tahun lalu, misalnya, mereka memborong jutaan tiket kampanye Trump untuk mengganggu kampanyenya di Oklahoma dalam pemilu presiden. Walaupun memiliki tiket, mereka membuat aksi “prank” dengan tidak hadir pada saat acara berlangsung sehingga gedung kampanye Trump sepi.