"Artinya, ada 60 persen yang tidak tercapai, atau 60 persen ini sia-sia karena pembelajarannya terus terang jujur saya katakan sangat tidak efektif," ucap dia.
Selain SDM, Satriwan mengatakan, catatan lain yakni terkait dengan persoalan infrastruktur.
Pemerintah pusat dalam hal ini Kemendikbud, Kemenag dan lintas Kementerian lainnya serta pemerintah daerah tidak mempersiapkan secara maksimal kebutuhan infrastruktur penunjang PJJ sehingga masih terjadi disparitas infrastruktur di berbagai daerah.
Satriwan mencontohkan, PJJ di daerah tertinggal, terdepan dan terluar (3T) misalnya, guru-guru di daerah tersebut mempraktikan PJJ dengan cara mengunjungi rumah-rumah siswa atau dengan metode luring.
Hal ini, menurut dia, sangat tidak efektif dalam menunjang pembelajaran, sebab, PJJ online yang dilaksanakan banyak sekolah dengan menggunakan aplikasi digital seperti Zoom atau Google Meet saja belum tentu efektif.
Apalagi pembelajaran luring, guru tidak bisa bertemu anak didik setiap hari karena berbagai faktor. Misalnya jarak rumah guru dengan siswa yang tidak dekat ataupun faktor lainnya.
Baca juga: Sekolah di Sukabumi Masih Banyak Tidak Bisa PJJ
"Kenapa mereka PJJ-nya luring? karena internetnya enggak ada, anak enggak punya gawai, bahkan di Papua itu tidak sedikit guru-guru yang tidak memiliki gawai pintar," kata Satriwan.
Catatan berikutnya, lanjut Satriwan yakni terkait dengan kurikulum darurat yang digunakan dalam pandemi Covid-19.
Kendati demikian, menurut dia, Mendikbud Nadiem sudah cukup baik dalam merespons kebutuhan tersebut.
"Alhamdulillah, mas Menteri itu mendengarkan aspirasi membuat kurikulum darurat atau kurikulum yang adaptif terhadap bencana atau pandemi," ucap dia.
Catatan terakhir, yakni soal kebijakan negara dalam mengakselerasi kebutuhan pembelajaran jarak jauh. Kebijakan negara itu, menurut Satriwan sudah cukup banyak, salah satunya yaitu terkait dengan bantuan kuota internet.
Selain catatan teknis belajar mengajar dari P2G, perjalanan pendidik dan peserta didik dalam menerapkan pembelajaran jarak jauh di masa pandemi ini juga diwarnai sejumlah cerita tragis hingga menyentuh.
Ada siswa SD yang dibunuh oleh ibunya lantaran sulit diajari saat belajar online, ada juga yang diduga bunuh diri karena beban tugas daring, hingga tidak sedikit yang menikah akibat berhenti bersekolah. Berikut rangkuman Kompas.com :
1. Siswi SD dibunuh ibunya karena sulit diajari belajar online
Pada akhir Agustus 2020, seorang siswa dipukuli ibu kandungnya sendiri di sebuah rumah kontrakan di Kecamatan Larangan, Tangerang.
Pelaku yang berinisial LH, saat itu mengaku sedang mengajarkan anaknya belajar. Tetapi, sang anak membuatnya kesal lantaran susah diajari saat belajar online.
Hal itu, rupanya membuat sang ibu gelap mata dan menganiaya putrinya. Ia mencubit, memukul dengan tangan kosong dan memakai sapu hingga meninggal dunia.
Baca juga: Saat Rekonstruksi Terungkap Awal Mula Ibu Bunuh Anak karena Sulit Belajar Online
"Kami dalami mereka, khususnya kepada almarhum yang merupakan anak kandungnya sendiri, dia merasa kesal, merasa anaknya ini susah diajarkan, susah dikasih tahu sehingga kesal dan gelap mata," kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Lebak AKP David Adhi Kusuma.
"Dicubit di bagian paha, selanjutnya dipukul dengan tangan kosong di bagian paha. Lalu si anak juga dipukul dengan gagang sapu dari kayu sebanyak lima kali di bagian kaki, paha, betis dan tangan," lanjut dia.
2. Diduga terbeban tugas daring, siswi SMA bunuh diri
Selain itu, seorang siswi SMA Negeri 18 Gowa, Sulawesi Selatan ditemukan tewas oleh adiknya di kamar, Sabtu (17/10/2020).
Siswi berinisial MI (16) itu sempat merekam dirinya menenggak racun serangga sebelum akhirnya tewas.
Saat ditemukan, MI sudah dalam kondisi mulut berbusa. Ditemukan pula cangkir berisi cairan berwarna biru yang merupakan racun serangga.
Baca juga: Siswi SMA Bunuh Diri karena Beban Tugas Daring, Dinas Pendidikan Evaluasi Sistem Belajar Online