Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Revisi UU ITE, Koalisi Masyarakat Sipil Minta Komnas HAM dan Komnas Perempuan Dilibatkan

Kompas.com - 24/02/2021, 11:46 WIB
Tatang Guritno,
Icha Rastika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Koalisi Masyarakat Sipil meminta pemerintah melibatkan Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) dan Komnas Perempuan untuk mengkaji Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Tranksaksi Elektronik (UU ITE).

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan, keterlibatan Komnas HAM diperlukan karena selama ini banyak terjadi pelaporan pada pembela HAM dengan menggunakan pasal-pasal karet pada UU ITE.

Baca juga: Bahas Penerapan UU ITE, Pihak Komnas HAM Bertemu Bareskrim Polri

Selain itu, ia menilai, Komnas Perempuan perlu dilibatkan karena banyak laporan korban kekerasan gender justru dilaporkan dengan Pasal 27 Ayat (1) dan Ayat (3) UU ITE saat memperjuangkan haknya sebagai korban.

“Selama ini pasal-pasal karet dalam UU ITE menunjukan lebih banyak digunakan oleh orang yang memiliki kekuasaan yaitu penguasa, pengusaha atau aparat penegak hukum, maka hampir dapat dipastikan pemilihan TIM Kajian UU ITE tanpa melibatkan unsur-unsur independen dikhawatirkan justru akan melanggengkan adanya pasal-pasal karet tersebut,” sebut Erasmus saat dihubungi Kompas.com, Rabu (24/2/2021).

Tanpa adanya pihak independen dalam tim Kajian UU ITE, Erasmus menilai, proses kajian UU tersebut hanya akan berfokus pada aspek legalistic formal dan mengabaikan situasi ketidakadilan yang terjadi.

“Dengan begitu Tim Kajian UU ITE akan berat sebelah dalam melakukan kajian, terutama menitikberatkan pada aspek legalistic formal dan mengabaikan adanya situasi ketidakadilan yang selama ini timbul akibat diberlakukannya pasal-pasal karet di dalam UU ITE,” kata dia.

Baca juga: Kompolnas Minta Penyidik Polri Laksanakan SE Kapolri soal UU ITE

Lebih lanjut, Erasmus menegaskan bahwa revisi UU ITE peru dilakukan secara substantif pada pasal-pasal karet yang ada.

Ia mengatakan, jika keberadaan Tim Kajian UU ITE hanya bekerja untuk menentukan kriteria implementatif pasal-pasal tertentu pada UU ITE, tidak akan menyelesaikan permasalahan yang ada pada masyarakat.

“Pedoman interpretative tidak akan menjawab akar persoalan dari permasalahan yang dihadapi bangsa ini akibat pasal-pasal karet UU ITE,” kata Erasmus.

Sebelumnya, Ketua Sub Tim I Kajian UU ITE Henri Subiakto mengatakan, pemerintah tidak akan merevisi ketentuan yang selama ini dianggap multitafsir atau pasal karet dalam UU ITE.

Menurut Henri, pemerintah tidak bisa merevisi pasal-pasal tersebut karena Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan sejumlah pasal dalam UU ITE tidak bertentangan dengan UUD 1945.

“Kami tentu saja tidak mungkin merevisi yang sudah diputuskan MK, itu tidak bisa diubah-ubah, karena itu sudah mengikat dan final. Mungkin akan ditambahi penjelas, dilengkapi supaya lebih jelas,” papar Henri, dikutip dari program Sapa Indonesia Malam, Kompas TV, Selasa (23/2/2021).

Baca juga: Ini Mekanisme Polisi Virtual Tegur Pelanggar UU ITE di Media Sosial

Ketentuan dalam UU ITE yang dinilai multitafsir dan pernah diuji di MK yakni Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28 Ayat (2).

Pengajuan judicial review Pasal 27 Ayat (3) pernah dilakukan pada 2009, 2015, dan 2016. Hasilnya dua permohonan ditolak MK dan satu dicabut oleh pemohon

Sementara uji materi Pasal 28 Ayat (2) dilakukan pada 2017 dan ditolak oleh MK.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bicara Posisi Politik PDI-P, Komarudin Watubun: Tak Harus dalam Satu Gerbong, Harus Ada Teman yang Mengingatkan

Bicara Posisi Politik PDI-P, Komarudin Watubun: Tak Harus dalam Satu Gerbong, Harus Ada Teman yang Mengingatkan

Nasional
Anggota Komisi II DPR Nilai Perlu Ada Revisi UU Pemilu Terkait Aturan Cuti Kampanye Pejabat Negara

Anggota Komisi II DPR Nilai Perlu Ada Revisi UU Pemilu Terkait Aturan Cuti Kampanye Pejabat Negara

Nasional
Proses di PTUN Masih Berjalan, PDI-P Minta KPU Tunda Penetapan Prabowo-Gibran

Proses di PTUN Masih Berjalan, PDI-P Minta KPU Tunda Penetapan Prabowo-Gibran

Nasional
DKPP Verifikasi Aduan Dugaan Ketua KPU Goda Anggota PPLN

DKPP Verifikasi Aduan Dugaan Ketua KPU Goda Anggota PPLN

Nasional
Kasus Eddy Hiariej Dinilai Mandek, ICW Minta Pimpinan KPK Panggil Jajaran Kedeputian Penindakan

Kasus Eddy Hiariej Dinilai Mandek, ICW Minta Pimpinan KPK Panggil Jajaran Kedeputian Penindakan

Nasional
KPU Undang Jokowi Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran Besok

KPU Undang Jokowi Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran Besok

Nasional
Cak Imin Mengaku Belum Dapat Undangan KPU untuk Penetapan Prabowo-Gibran

Cak Imin Mengaku Belum Dapat Undangan KPU untuk Penetapan Prabowo-Gibran

Nasional
Tentara AS Meninggal Saat Tinjau Tempat Latihan Super Garuda Shield di Hutan Karawang

Tentara AS Meninggal Saat Tinjau Tempat Latihan Super Garuda Shield di Hutan Karawang

Nasional
DKPP Terima 200 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu Selama 4 Bulan Terakhir

DKPP Terima 200 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu Selama 4 Bulan Terakhir

Nasional
Nasdem-PKB Sepakat Tutup Buku Lama, Buka Lembaran Baru

Nasdem-PKB Sepakat Tutup Buku Lama, Buka Lembaran Baru

Nasional
Tentara AS Hilang di Hutan Karawang, Ditemukan Meninggal Dunia

Tentara AS Hilang di Hutan Karawang, Ditemukan Meninggal Dunia

Nasional
Lihat Sikap Megawati, Ketua DPP Prediksi PDI-P Bakal di Luar Pemerintahan Prabowo

Lihat Sikap Megawati, Ketua DPP Prediksi PDI-P Bakal di Luar Pemerintahan Prabowo

Nasional
PDI-P Harap Pilkada 2024 Adil, Tanpa 'Abuse of Power'

PDI-P Harap Pilkada 2024 Adil, Tanpa "Abuse of Power"

Nasional
PKS Belum Tentukan Langkah Politik, Jadi Koalisi atau Oposisi Pemerintahan Prabowo-Gibran

PKS Belum Tentukan Langkah Politik, Jadi Koalisi atau Oposisi Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
KPK Duga Biaya Distribusi APD Saat Covid-19 Terlalu Mahal

KPK Duga Biaya Distribusi APD Saat Covid-19 Terlalu Mahal

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com