JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Fraksi PKS Sukamta mempertanyakan pernyataan Ketua Sub Tim I Kajian Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang menyebut pemerintah tidak akan merevisi ketentuan yang selama ini dianggap multitafsir atau pasal karet di UU ITE.
Sukamta mengatakan, pernyataan Henri itu justru berbeda dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang merasa pasal-pasal bermasalah dalam UU ITE perlu direvisi.
"Saya tidak tahu kenapa dia begitu keukeuh tidak mau revisi yang dia sebut sendiri sebagai pasal karet. Sementara Presiden saja sudah merasa itu perlu direvisi," kata Sukamta saat dihubungi, Rabu (24/2/2021).
"Pertanyaannya, apakah Presiden berubah pendapatnya atau orang-orang ini yang membelokkan kemauan Presiden?" ujar dia.
Baca juga: Pemerintah Tak Akan Revisi Pasal UU ITE yang Dianggap Multitafsir
Anggota Komisi I DPR itu juga mempertanyakan alasan Henri menyebut pasal karet dalam UU ITE tidak bisa direvisi yaitu karena telah dinyatakan tak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi.
"Tidak bertentangan dengan UUD bukan berarti tidak mengandung masalah toh?" ujar Sukamta.
Oleh karena itu, Sukamta meminta agar pemerintah mengkaji rencana merevisi UU ITE secara serius terlebih dahulu.
Setelah kajian selesai, kajian dilaporkan kepada Presiden, publik, dan DPR karena Presiden sudah membuat pernyataan ke publik terkait wacana UU ITE.
"Dikaji saja belum kok sudah bilang tidak akan revisi, yang itu menyalahi statement Presiden, dengan argumen yang tidak pas lagi," kata Sukamta.
Baca juga: Ini Mekanisme Polisi Virtual Tegur Pelanggar UU ITE di Media Sosial
Diberitakan sebelumnya, Henri mengatakan, pemerintah tidak akan merevisi ketentuan yang selama ini dianggap multitafsir atau pasal karet.
Henri berpandangan, pemerintah tidak bisa merevisi pasal-pasal tersebut. Sebab Mahkamah Konstitusi telah memutuskan sejumlah pasal dalam UU ITE itu tidak bertentangan dengan UUD 1945.
“Kami tentu saja tidak mungkin merevisi yang sudah diputuskan MK, itu tidak bisa diubah-ubah, karena itu sudah mengikat dan final. Mungkin akan ditambahi penjelas, dilengkapi supaya lebih jelas,” ujar Henri, dikutip dari program "Sapa Indonesia Malam", Kompas TV, Selasa (23/2/2021).
Baca juga: Pemerintah Diminta Libatkan Lembaga Independen dalam Tim Kajian UU ITE
Ketentuan dalam UU ITE yang dinilai multitafsir dan pernah diuji di MK yakni Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2).
Pasal 27 ayat (3) mengatur tentang penghinaan dan pencemaran nama baik, sedangkan Pasal 28 ayat (2) tentang penyebaran informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan pada masyarakat berdasar suku, agama, ras dan antar golongan (SARA).
Pengajuan judicial review Pasal 27 ayat (3) pernah dilakukan pada 2009, 2015 dan 2016.
Baca juga: Yusril: Pasal di UU ITE yang Pernah Ditolak Gugatannya di MK Tetap Bisa Direvisi DPR
Hasilnya, dua permohonan ditolak MK dan satu dicabut oleh pemohon. Sementara uji materi Pasal 28 ayat (2) dilakukan pada 2017 dan ditolak oleh MK.
"Tentu saja Presiden memperoleh masukan bahwa undang-undang ini sudah berkali-kali di-judicial review di MK. Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) sudah empat kali judicial review," kata Henri.
"MK sudah memutuskan bahwa pasal itu secara normanya benar. Tidak ada konflik dengan Undang-undang Dasar 1945,” tutur dia.
Adapun sebelumnya Jokowi mengaku akan Jokowi akan meminta DPR untuk merevisi UU ITE apabila implementasi UU tersebut tidak menjunjung prinsip keadilan.
"Kalau Undang-Undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan ya saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi undang-undang ini," kata Jokowi, saat memberikan arahan pada rapat pimpinan TNI-Polri di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/2/2021).
Baca juga: ICJR: Revisi UU ITE Harus Menghilangkan Pasal Karet Bukan Membuat Pedoman Interpretasi
Jokowi bahkan akan meminta DPR menghapus pasal-pasal karet yang ada di UU ITE. Sebab, menurut dia, pasal-pasal ini menjadi hulu dari persoalan hukum.
"Terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak," ujar Jokowi.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.