JAKARTA, KOMPAS.com - Koalisi masyarakat sipil mendesak pemerintah melibatkan lembaga independen Tim Kajian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Tim independen yang dimaksud adalah Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komnas Perempuan.
"Pemerintah harus melibatkan pihak-pihak independen seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan dalam Tim Kajian UU ITE," ujar Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur dalam keterangan tertulis, Selasa (23/2/2021).
Dalam pelaksanaannya, Isnur meyakini, Tim Kajian UU ITE ini tidak akan membuahkan hasil seperti yang didambakan masyarakat karena sejumlah alasan.
Pertama, tiadanya Komnas HAM dan Komnas Perempuan dalam tim tersebut. Padahal keberadaan Komnas HAM sangat menentukan untuk melihat implikasi UU ITE terhadap pelanggaran HAM.
Baca juga: Ini Mekanisme Polisi Virtual Tegur Pelanggar UU ITE di Media Sosial
Mengingat, dua lembaga ini selama ini telah mempunyai track record panjang dalam menangani perkara UU ITE.
Misalnya, Komnas HAM selama ini aktif menerima aduan terkait pelaporan pada pembela HAM dengan pasal-pasal karet di UU ITE.
Sedangkan Komnas Perempuan selama ini menerima aduan terkait laporan korban kekerasan gender yang justru dilaporkan dengan Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE saat memperjuangkan haknya sebagai korban.
Keraguan koalisi masyarakat sipil terhadap Tim Kajian UU ITE tak berhenti sampai di situ.
Mereka menyoroti komposisi Tim Kajian UU ITE yang justru dipimpin orang-orang yang selama ini dianggap berpotensi menghambat upaya revisi dan tidak memiliki komitmen untuk memperbaiki demokrasi yang jelas-jelas bersumber dari adanya pasal-pasal karet UU ITE.
Adapun komposisi Tim Kajian UU ITE terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Pelaksana.
Tim Pengarah terdiri dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo.
Baca juga: Pemerintah Tak Akan Revisi Pasal UU ITE yang Dianggap Multitafsir
Sedangkan, Tim Pelaksana sendiri dikomandoi Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan HAM Kemneko Polhukam, Sugeng Purnomo.
Tim ini resmi beroperasi sejak keputusan tersebut dibuat, yakni pada hari ini Senin (22/2/2021) hingga dua bulan ke depan.
Menurut Isnur, penunjukkan komposisi Tim Kajian UU ITE ini memberi pesan adanya ketidakseriusan pemerintah dalam menjalankan permintaan Presiden Jokowi untuk menelaah adanya potensi ketidakadilan dalam UU ITE.
"Sulit rasanya bagi masyarakat sipil untuk berharap banyak pada Tim Kajian UU ITE dapat menemukan kajian ketidakadilan dalam UU ITE jika melihat komposisinya yang tidak seimbang dan lebih banyak dari pihak pemerintah saja," tegas Isnur.
Adapun koalisi masyarakat sipil terdiri dari LBH Pers, SAFEnet, YLBHI, ICJR, IJRS, ELSAM, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, Greenpeace Indonesia, Kontras, Amnesty International Indonesia, PUSKAPA UI, Imparsial, AJI Indonesia, PBHI, Rumah Cemara, Koalisi Perempuan Indonesia, ICW, LeIpP, dan WALHI.
Baca juga: Wacana Revisi UU ITE yang Setengah Hati...
Pembentukan tim ini tertuang dalam Keputusan Menko Polhukam (Kepmenko Polhukam) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Tim Kajian Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tertanggal 22 Februari 2021.
Tim Kajian UU ITE ini bertugas untuk mendiskusikan aturan yang selama ini dianggap mengandung pasal karet (haatzai artikelen), baik dari sisi implementasi maupun substansinya.
Tim ini akan melakukan kajian selama dua hingga tiga bulan ke depan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.