JAKARTA, KOMPAS.com – Kuatnya desakan revisi Undang-undang (UU) No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tak langsung direspons pemerintah dan DPR dengan menggelar legislative review di parlemen untuk segera melakuan revisi.
DPR yang menyatakan dukungannya terhadap wacana revisi UU ITE yang kerap digunakan untuk menangkal kritik tak juga mengambil inisiatif untuk menyiapkan langkah revisi sejumlah pasal karet di UU tersebut.
Pasal-pasal yang dianggap multitafsir ialah Pasal 27 Ayat 3 tentang pencemaran nama baik dan Pasal 28 Ayat 2 tentang ujaran bermuatan SARA.
Baca juga: Bahas Penerapan UU ITE, Pihak Komnas HAM Bertemu Bareskrim Polri
Demikian halnya pemerintah. Alih-alih menyiapkan langkah-langkah untuk merevisi sejumlah pasal bermasalah, pemerintah justru berkutat dalam penyusunan pedoman penerapan UU ITE dalam suatu tindak pidana.
Hal itu diketahui dari pengumuman yang disampaikan Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang menyatakan bahwa pemerintah membentuk dua tim untuk merespons desakan revisi UU ITE dari publik.
Tim yang bertugas untuk membahas pedoman interpretasi UU ITE dipimpin oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate.
Johnny mengatakan, pembentukan pedoman interpretasi resmi terhadap UU ITE diinstruksikan oleh Presiden Joko Widodo. Pedoman tersebut dibuat agar implementasi pasal-pasal UU ITE berjalan adil dan tak multitafsir.
Dalam proses pembahasan, Kemenkominfo akan melibatkan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Polri, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung.
Baca juga: Polri: SE Kapolri Berlaku Juga untuk Kasus UU ITE yang Sedang Diproses
Selain itu pemerintah juga membentuk tim untuk membahas rencana revisi UU ITE. Pasalnya, sejumlah pihak mendorong pemerintah dan DPR merevisi pasal-pasal yang dianggap mengancam demokrasi.
Menurut Mahfud, tim rencana revisi UU ITE akan mengundang pakar hukum, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), pakar, lembaga swadaya masyarakat (LSM), hingga kelompok gerakan pro-demokrasi.
"(Semua) akan didengar untuk mendiskusikan, benar tidak ini perlu revisi," kata Mahfud.
Dinilai tak serius revisi
Menanggapi respons pemerintah yang tak langsung menyiapkan langkah revisi UU ITE, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus mengatakan pemerintah seharusnya mencabut pasal-pasal karet, bukan membuat pedoman interpretasi.
"Pemerintah seharusnya mencabut seluruh pasal-pasal yang dinilai bermasalah dan rentan disalahgunakan akibat penafsiran yang terlalu luas," ujar Erasmu.
Baca juga: Wakil Ketua DPR: UU ITE Jadi Alat untuk Saling Lapor
Erasmus berpandangan, pemerintah akan sulit untuk menentukan standar interpretasi terhadap tindak pidana yang terkait ekspresi dalam UU ITE. Misalnya, soal penghinaan, perbuatan menyerang kehormatan seseorang dan ujaran kebencian.
"Kualifikasi sebuah perbuatan dianggap sebagai tindak pidana pada ekspresi, sangat sulit memiliki standar interpretasi yang tegas dan memiliki kepastian hukum," kata Erasmus.
Akibatnya, Erasmus menuturkan, penetapan pedoman interpretasi justru membuka ruang baru bagi praktik kriminalisasi.
"Pedoman interpretasi resmi terhadap UU ITE merupakan langkah yang tidak menyelesaikan akar permasalahan," tuturnya.
Sementara itu pembentukan Koalisi masyarakat sipil menilai pembentukan Tim Kajian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE) tak akan membuahkan hasil karena tidak dilibatkannya pihak independen.
Baca juga: Tak Libatkan Pihak Independen, Tim Kajian UU ITE Diyakini Tak Buahkan Hasil
"Pertama, tidak adanya keterlibatan pihak independen yang dapat melihat implikasi UU ITE pada pelanggaran hak-hak asasi warga," ujar Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur dalam keterangan tertulis, Selasa (23/2/2021).
Adapun pihak independen yang dimaksud Isnur, misalnya Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Menurut Isnur, peran Komnas HAM sangat dibutuhkan karena selama ini aktif menerima aduan terkait pelanggaran pasal karet UU ITE.
Di samping itu, Isnur mengatakan, tidak dilibatkannya pihak independen juga dikhawatirkan akan melanggengkan adanya pasal-pasal karet. Dengan begitu, Tim Kajian UU ITE diyakini akan berat sebelah dalam melakukan kajian.
"Terutama menitikberatkan pada aspek legalistik formal dan mengabaikan/menutupi adanya situasi ketidakadilan yang selama ini timbul akibat diberlakukannya pasal-pasal karet di dalam UU ITE," ucap Isnur.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.