JAKARTA, KOMPAS.com - Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan Asep Warlan mengapresiasi surat edaran yang diterbitkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit terkait penerapan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Menurut Asep, surat bernomor SE/2/II/2021 itu memberikan kepastian dalam penerapan pasal-pasal UU ITE yang selama ini dianggap diskriminatif dan karet.
"Yang penting dari SE itu adalah memberikan kepastian lebih bagi penerapan pasal-pasal UU ITE atau pidana tentang ujaran kebencian dan pencemaran nama baik," kata Asep saat dihubungi, Rabu (23/2/2021).
Baca juga: Tak Libatkan Pihak Independen, Tim Kajian UU ITE Diyakini Tak Buahkan Hasil
Ia mengatakan, surat edaran itu akan membuat penyidik Polri tidak tergesa-gesa menanggapi laporan masyarakat.
Asep menegaskan, pendekatan restorative justice dengan mengutamakan mediasi pelapor dan terlapor dalam penanganan perkara UU ITE merupakan langkah yang baik.
Artinya, tidak semua perkara harus diselesaikan di pengadilan, kecuali, dalam kasus-kasus yang menimbulkan perpecahan atau kekerasan.
"Yang tidak boleh damai, ketika akibat yang ditimbulkan berpotensi kekerasan atau perpecahan atau ada penghinaan terhadap suku, golongan. Itu yang harus diselesaikan, jangan sampai hal yang penting juga dengan damai. Itu tidak adil," tutur dia.
Bertalian dengan itu, Asep mendorong Kapolri membuat aturan pelengkap surat edaran untuk menentukan parameter sebuah perkara termasuk SARA atau berpotensi memecah belah bangsa.
Baca juga: Ada SE Kapolri soal UU ITE, Politisi Demokrat Harap Polisi Tak Lagi Diskriminatif
Menurut dia, ada tiga hal yang dapat menentukan batasan SARA atau tuduhan memecah belah bangsa.
"Pertama, ada pedoman yang lebih pasti bisa dijadikan acuan bagi polisi, misal dilihat dari akibatnya," kata Asep.
Kedua, keterangan dari saksi ahli yang mengukur dengan obyektif. Ketiga, ada pertanggungjawaban dari terlapor bahwa perkara bisa diselesaikan di luar pengadilan.
Namun, Asep berharap SE Kapolri ini tidak menjadi satu-satunya acuan dalam penerapan UU ITE. Dia mengatakan, pemerintah dan DPR tetap perlu melakukan revisi UU ITE.
"Kapolri sudah bagus dengan restorative justice itu, maka harus ditingkatkan menjadi pasal di undang-undang," ujar dia.
Ia menyebut, ada dua hal yang harus dipastikan terjaga di UU ITE, yaitu ada penyelesaian dengan cara musyawarah melalui mediasi dan menjaga kepentingan umum.
"Dua itu harus dijaga. Jangan sampai semua penghinaan diselesaikan dengan hukum pidana. Undang-undang diperlukan untuk menjaga kepentingan pribadi dan negara," kata Asep.
Kapolri menerbitkan surat edaran nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif tertanggal 19 Februari 2021.
Lewat surat tersebut, Kapolri kepada penyidik polisi memiliki prinsip bahwa hukum pidana menjadi upaya terakhir dalam penanganan perkara UU ITE.
Sigit meminta penyidik mengedepankan pendekatan restorative justice (keadilan restorative) dalam penegakan hukum.
Baca juga: YLBHI Nilai SE Kapolri Soal UU ITE Tidak Selesaikan Masalah
Bertalian dengan surat itu, Kapolri juga menerbitkan Surat Telegram yang berisi tentang pedoman penanganan perkara tindak pidana kejahatan siber yang menggunakan UU ITE.
Surat telegram Nomor ST/339/II/RES.1.1.1./2021 itu tertanggal 22 Februari 2021, ditandatangani Wakabareskrim Irjen Wahyu Hadiningrat atas nama Kapolri.
Dalam surat telegram, Kapolri mengklasifikasikan perkara penanganan UU ITE yang bisa diselesaikan dengan restorative justice dan mana yang tidak beserta rujukan pasal-pasalnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.