JAKARTA, KOMPAS.com - Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meminta penyidik Polri memiliki prinsip bahwa hukum pidana menjadi upaya terakhir dalam penanganan perkara UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Sigit meminta penyidik mengedepankan pendekatan restorative justice (keadilan restoratif) dalam penegakan hukum.
Hal itu ia sampaikan melalui surat edaran nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif tertanggal 19 Februari 2021.
Baca juga: Kapolri Terbitkan SE soal UU ITE, Tersangka Minta Maaf Tak Perlu Ditahan
"Penyidik berprinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimatum remidium) dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara," tulis Kapolri dalam SE.
Lewat SE, ia meminta penyidik mengedepankan upaya preemtif dan preventif melalui virtual police dan virtual alert yang bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan, serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber.
Kemudian, Sigit menginstruksikan, dalam menerima laporan dari masyarakat, penyidik harus dapat dengan tegas membedakan antara kritik, masukan, hoaks, dan pencemaran nama baik yang dapat dipidana.
Setelah itu, penyidik menentukan langkah yang akan diambil.
Baca juga: Pemerintah Dinilai Tak Berniat Ajukan Revisi UU ITE
Sigit juga meminta, sejak penerimaan laporan, agar penyidik berkomunikasi dengan para pihak terutama korban yang tidak boleh diwakilkan.
Polisi memfasilitasi serta memberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melaksanakan mediasi.
Kepada para pihak dan korban yang akan mengambil langkah damai, Sigit meminta penyidik memprioritaskan restorative justice.
Namun, hal tersebut tidak berlaku untuk perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme.
Baca juga: Tugas Tim Kajian UU ITE: Bahas Pasal Karet hingga Putuskan Revisi atau Tidak