JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte mengaku menjadi korban kriminalisasi atas kasus yang menjeratnya.
Hal itu disampaikan Napoleon saat mmembacakan nota pembelaan atau pleidoi dalam sidang kasus dugaan korupsi terkait penghapusan red notice di Interpol atas nama Djoko Tjandra, Senin (22/2/2021).
“Bahwa kami telah menjadi korban dari kriminalisasi melalui media sosial yang memicu malpraktik dalam penegakan hukum," ucap Napoleon dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (22/2/2021), dikutip dari Tribunnews.com.
Baca juga: Irjen Napoleon Dituntut 3 Tahun Penjara di Kasus Djoko Tjandra
Napoleon mengungkapkan, proses hukum dalam kasus Djoko Tjandra dilakukan hanya demi mempertahankan citra institusi Polri semata.
Dalam pandangannya, kasus Djoko Tjandra diusut karena ramainya pemberitaan di media massa di pertengahan bulan Juli 2020.
“Sehingga memicu malpraktik penegakan hukum atas nama mempertahankan keluhuran marwah institusi," ucapnya.
"Kemudian disambut oleh pemberitaan di media massa secara masif dan berskala nasional, sejak pertengahan bulan Juni 2020, yang menuding, bahwa pemerintah Indonesia, terutama penegak hukum terkait telah kecolongan," sambung dia.
Pemberitaan yang masif itu dinilai diperparah dengan munculnya surat keterangan bebas Covid-19 yang dikeluarkan oleh Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pusdokkes) Polri.
Hal itu dinilai berdampak pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri.
“Telah menggulirkan tudingan publik kepada Polri, bahwa yang dianggap sebagai biang keladi tercorengnya kewibawaan pemerintah akibat kelemahan aparat hukum negara," tutur Napoleon.
Adapun dalam kasus ini, Napoleon dituntut 3 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.
Baca juga: Kasus Djoko Tjandra, Irjen Napoleon Sebut Jaksa Hanya Bisa Buktikan Adanya Pertemuan
JPU menilai Napoleon terbukti menerima suap sebesar 370.000 dollar Amerika Serikat dan 200.000 dollar Singapura dari Djoko Tjandra.
Menurut JPU, dengan berbagai surat yang diterbitkan atas perintah Napoleon, pihak Imigrasi menghapus nama Djoko Tjandra dari daftar pencarian orang (DPO).
Dengan begitu, Djoko Tjandra yang merupakan narapidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali itu pun bisa masuk ke Indonesia pada pertengahan tahun 2020 meski berstatus buronan.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.