Dampak dari situasi tersebut, ada yang memilih tindakan regulasi tegas sepihak dari negara dalam penerapan lockdown total, ada pula yang berharap pada pastisipasi masyarakat dalam Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ala Indonesia.
Pada saat negara sedang sibuk menyiapkan berbagai regulasi, yang justru menarik adalah peran non-state actor (aktor non-negara) yang bergerak cepat dalam semangat gotong-royong menyelamatkan mayarakat dari virus yang tidak ‘bergantung pada regulasi’ sebuah negara secara global.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) secara kolektif maupun para individu tokoh aktor non-negara dan tentu juga para tenaga kesehatan patut mendapatkan apresiasi tinggi, bahkan sesungguh dapat di kategorikan sebagai pahlawan terkait peran respons awal meghadapi pandemi ini.
Dari awal hingga kini, mereka sesungguhnya tidak pernah menunggu regulasi pemerintah, melainkan menjiwai makna filosofis gotong-royong dalam menghadapi darurat kemanusiaan yang sedang melanda. Mereka mempertaruhkan harta, martabat, jiwa dan raga demi menyelamatkan setiap insan manusia.
Dalam konteks Indonesia, salah satu contoh nyata yang menjadi sorotan adalah Tomy Winata melalui Yayasan Atha Graha Peduli (AGP). Sosok individu Tomy Winata ini unik karena anggapan umum bahwa AGP sesugguhnya adalah sarana menyaluraan apirasinya, berbeda dengan oganisasi non-profit lainnya yang bergerak secara kolektif.
Sebagaimana kita ketahui, pengusaha nasional yang kerap berkontribusi besar terhadap bencana alam dan kemanusiaan ini adalah aktor non-negara yang pertama di Indonesia dalam kontribusi penangulangan Covid-19 di Indonesia.
Bermula pada Febuari-Maret 2020, saat negara belum memiliki regulasi-regulasi menghadapi pandemik Covid-19, AGP menyalurkan bantuan kepada pemerintah dalam penyediaan tempat isolasi dan observasi bagi 188 WNI kru kapal pesiar World Dream di pulau Sebaru Kecil (Kepulauan Seribu), Artha Graha kemudiaan berpacu dalam waktu menyediakan pusat kesehatan darurat dengan menyediakan fasiltas pemeriksaan Covid-19 secara gratis bagi masyarakat kurang mampu.
Bahkan membantu dalam penyediaan peralatan perlindungan bagi tenaga kesehatan. Langkah nyata inipun berlanjut hingga kini dengan keterlibatan oleh lebih banyak organisasi lainnya.
Contoh ini menarik sebagai kenyataan yang relavan bahwa roh gotong-royong dalam masyarakat Indonesia sesngguhnya tidak pernah luntur, dimana pemaknaan gotong-royong adalah dimana negara sebagai aktor dan aktor non-negara secara bersama-sama dan bukan secara sendiri-sendiri, memiliki tangungjawab moril dalam menjaga lingkungan sekitar, dalam konteks ini terhadap pandemik Covid-19.
Sebagai perbandingan di awal masa pandemik dengan negara-negara penduduk terbesar di dunia, langkah di China sama sekali berbeda dengan Indonesia dimana penangulangan Covid-19 di Wuhan dilakukan dengan penerapan lockdown penuh dan pembangunan fasilitas kesehatan secara rapid yang sepenuhnya dipimpin oleh negara.
Penerapan lockdown di China pun mimiliki lack of communication antara masyarakat dan pemerintah. Sekalipun demikian, Wuhan berhasil menerapkan disiplin luar biasa hingga akhirnya mendeklarasikan temporary victory (kemenangan sementara) atas Covid-19.
Urgensi penerapan lockdown pun akhirnya memengaruhi pemerintahan negara-negara lain terkait metode penangulangan pandemik ini. Sejalan dengan China, India menerapkan lockdown total terbesar di dunia terhadap lebih dari 900 juta penduduk dari total 1,3 miliar penduduk negri Bollywood tersebut.
Uniknya, pemerintahaan New Delhi membangun komunikasi politik yang unik dengan masyarakat awam dan pedesaan melalui perumpamaan Ramayana.
Perdana Mentri Narenda Modi mengibaratkan saat Rama membuat garis api agar Shinta tidak keluar dari rumah selama 21 hari dan menyerukan agar setiap sore hari tiap keluarga untuk berdiri di jendela atau balkon rumah masing-masing dan memberi tepuk-tangan sebagai bentuk appresiasi dan semangat kepada para dokter dan tenaga medis yang mempertaruhkan jiwa dan raga menghadapi pandemik Covid-19.
Langkah ini pun di nilai berhasil mengedukasi situasi saat itu, tentu bersamaan dengan pengawasan disiplin yang sangat tinggi.
Berbeda dengan China dan India, Amerika Serikat (AS) menyikapi pandemi awal melalui diskursus politik domestik oleh mantan Presiden Donald Trump yang bebarengan dengan pendekatan ilmiah Dr. Anthony Fauci.
Hal yang menarik adalah kasus ini membuka ruang perdebatan antara politik dan ilmuwan tanpa adanya intervensi. Secara kasat mata, masyarakat AS pun mengalami ‘kegalauan’ sekaligus pengetahuan akan langkah pilihan individu.
Akan tetapi, situasi kini berubah dengan Presiden terpilih Joe Biden yang langsung bergerak cepat menyelaraskan politik kepada ilmu pengetahuan, hal ini tentu dengan penerapan dan pengawasan hukum secara ketat dan menyerukan pentingnya disiplin protokol kesehatan.
Pola penanggulangan Covid-19 di Indonesia pun berbeda dengan negara-negara lain pada umumnya, dimana di berbagai belahan dunia nampaknya masyarakat bergantung kepada kebijakan aktor negara secara sepihak.
Hal ini akhirnya berdampak terhadap lockdown besar-besaran di berbagai belahan bumi. Kehadiran organisasi non-profit hanya sebagai pendamping yang belum tentu berkaloborasi dengan negara, hal ini di karenakan pengalaman non-profit movement kerap sebatas bencana-bencana umum dan bukan darurat pandemik seperti saat ini.