JAKARTA, KOMPAS.com – Pengacara mantan Menteri Sosial Juliari Batubara, Maqdir Ismail, menilai wacana tuntutan hukuman mati yang ramai diperbincangkan terlalu berlebihan.
Seperti diketahui, Juliari merupakan tersangka dugaan suap Bantuan Sosial Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek.
Adapun usulan hukuman mati kepada Juliari dimunculkan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Hiariej.
“Menurut hemat saya pernyataan Wakil Menteri Hukum dan HAM itu satu pernyataan itu berlebihan,” kata Maqdir kepada Kompas.com, Kamis (18/2/2021).
Baca juga: Wakil Ketua KPK Sebut Mantan Mensos Juliari Batubara Bisa Dijatuhi Hukuman Mati
Maqdir berpendapat, tidak ada keadaan yang dapat digunakan untuk menghukum atau menuntut Jualiari Batubara dengan hukuman atau tuntutan hukuman mati.
“Apa yang dikemukan oleh Pak Wamen ini adalah bentuk dari sikap yang dalam kepustakaan biasa disebut sebagai ‘overcriminalization’,” ucap Maqdir.
Maqdir menyebut, kecenderungan untuk melakukan overcriminalization sudah dikecam oleh para ahli hukum sejak lama.
Alasan utama, kata dia, dengan adanya overcriminalization ini, orang akan dihukum tidak sesuai dengan kesalahannya.
“Overcriminalization ini adalah bentuk nyata dari pelanggaran hak asasi atas nama penegakan hukum,” ujar Maqdir.
Baca juga: ICW Nilai Pemidanaan Maksimal dan Pemiskinan Sudah Beri Efek Jera Edhy Prabowo dan Juliari Batubara
Maqdir menuturkan, dalam kaitanya dengan perakara yang sedang ditangani oleh KPK atau Kejaksaan Agung dan Kepolisian, sebaiknya pejabat tidak mengumbar pernyataan-pernyataan demikian.
Sebab, menurut dia, pernyataan seperti itu akan menjadi beban bagi penegak hukum.
“Komentar seperti ini selain memberatkan penegak hukum, hal itu akan mempengaruhi opini publik, yang belum tentu berakibat baik bagi proses hukum yang sedang berjalan,” kata Maqdir.
“Pernyataan Wamen ini sadar atau tidak sadar akan digoreng sebagai tuntutan politik dalam penegakan hukum,” ucap dia.
Kalau ini terjadi, kata Maqdir, maka yang dirugikan adalah seluruh warga negara.
Baca juga: Wacana Tuntutan Mati Edhy Prabowo dan Juliari Batubara: Kata KPK, Parpol, dan Mantan Pimpinan
Sebab, menurutnya, yang akan terjadi adalah perdebatan yang tidak perlu mengenai penjatuhan hukuman mati terhadap orang diduga melakukan perbuatan pidana korupsi.
Lebih jauh, Maqdir membenarkan terkait Pasal 2 Ayat 2 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang ramai dibicarakan jadi tuntutan tersebut adalah UU yang masih berlaku.
“Tapi jangan lupa, aturan tentang hukum mati dalam perkara korupsi hanya ada di beberapa negara komunis dan Indonesia. Tidak dianut lagi oleh negara demokrasi,” kata Maqdir.
“Apalagi, ukuran untuk menjatuhkan hukuman mati yang dijelaskan oleh penjelasan Pasal 2 Ayat (2) ini sangat longgar interpretasinya,” ucap dia.
Baca juga: Wacana Tuntutan Mati Edhy Prabowo dan Juliari Batubara: Kata KPK, Parpol, dan Mantan Pimpinan
Adapun, ancaman hukuman mati tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 menyatakan, "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)".
Sementara Pasal 2 ayat (2) menyebutkan, "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan".
Sedangkan penjelasan Pasal 2 Ayat (2) menyatakan, "Yang dimaksud dengan 'keadaan tertentu' dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.