JAKARTA, KOMPAS.com - Praktisi hukum David Tobing mempertanyakan pernyataan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johny G Plate soal penyusunan pedoman interpretasi resmi terhadap UU ITE.
David menyayangkan rencana penyusunan pedoman interpretasi itu karena bukan merupakan produk hukum.
"Tidak ada pedoman interpretasi hukum. Sebagai praktisi hukum saya menyayangkan niat itu karena pedoman tersebut bukan merupakan suatu norma hukum," ujar David dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Rabu (17/2/2021).
"Sehingga apabila tetap dibuat, sudah pasti tidak mengikat karena bukan peraturan perundangan," kata dia.
Baca juga: Menkominfo: Pemerintah Segera Susun Pedoman Interpretasi Resmi UU ITE
David menilai, yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah meninjau kembali pengaturan ITE berdasarkan hierarki peraturan perundangan mulai dari undang-undang (UU), peraturan pemerintah (PP), selanjutnya dengan peraturan menteri (permen), dan seterusnya.
Selain hierarki, dia menyebutkan intepretasi pada batang tubuh norma dalam UU ITE adalah tercantum di penjelasan.
David mengingatkan, sebagaimana diatur dalam lampiran II UU Nomor 12/2011 yang telah diubah dengan UU Nomor 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, disebut bahwa penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh.
Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh.
"Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud," tutur David.
Baca juga: Soal Wacana Revisi UU ITE, KSP: Presiden Jokowi Gundah Lihat Warga Saling Adu
Oleh karena itu, David meminta pembentuk UU harus mempertegas penjelasan dari pasal-pasal yang dinilai bermasalah bagi publik melalui Revisi UU ITE.
Dengan demikian, tidak terjadi multitafsir dalam implementasi oleh para penegak hukum.
David pun menjelaskan, intepretasi dalam teori hukum dikenal beberapa istilah "metode intepretasi hukum".
Sementara itu, terkait metode intepretasi ada banyak cara, yakni hermaunetik, gramatikal, historis dan sebagainya, David menanyakan kembali metode intrepetasi mana yang mau dipakai.
"Apakah semuanya mau dipakai dalam pedoman. Berkaitan dengan metode intpretasi hukum, itu domainnya hakim," kata David.
"Jika demikian, bahkan hakim 'dibatasi' memakai hak intepretasi. Hakim hanya 'boleh' melakukan intepretasi terhadap pasal-pasal yang tidak jelas dan itupun berbeda dalam kasus per kasus," kata dia.
Baca juga: Soal Wacana Revisi UU ITE, KSP: Butuh Waktu Kaji Pasal Multitafsir