JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset penting untuk masuk program legislasi nasional (prolegnas).
Berdasarkan data ICW, terdapat gap yang besar antara kerugian negara akibat korupsi dengan jumlah vonis pidana tambahan berupa uang pengganti. Pada semester pertama 2020, kerugian negara mencapai Rp 39 triliun, sedangkan vonis uang pengganti hanya Rp 2,9 triliun.
“Gap tersebut itu kan jadi problem hari ini, itu kalau kita terus menerus masih menggunakan pendekatan hukum pidana, tapi kalau dengan RUU perampasan aset, aset yang diduga hasil kejahatan itu lah yang dihadirkan persidangan untuk dibuktikan sebaliknya bahwa itu tidak terkait tidak pidana oleh pemilik aset tersebut,” kata Kurnia kepada Kompas.com, Rabu (17/2/2021).
“Kalau tidak bisa dibuktikan ya dirampas, sesederhana itu sebenarnya,” ucap dia.
Kendati demikian, Kurnia berpendapat, keinginan politik pemerintah maupun DPR terhadap pemberantasan korupsi tidak jelas.
Padahal, banyak kelompok masyarakat yang menyerukan adanya pembahasan undang-undang yang pro terhadap pemberantasan korupsi, seperti RUU Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal dan revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Tapi kan yang dilakukan justru merevisi Undang-Undang KPK. Dari kejadian itu, kita sudah bisa memproyeksikan ke depan, ICW ragu berbagai tunggakan legislasi yang memperkuat pemberantasan korupsi akan segera dibahas atau diundangkan oleh pemerintah ataupun DPR,” ujar Kurnia.
Baca juga: Soal RUU Perampasan Aset, KPK: Berdampak Positif terhadap Pemulihan Kerugian Negara
Lebih lanjut, Kurnia menilai, pemerintah dan DPR seperti hilang arah untuk menentukan mana regulasi-regulasi yang pro pemberantasan korupsi dan mana regulasi-regulasi yang harus dihindari karena kental kaitan politik dan berpotensi melemahkan institusi pemberantasan korupsi seperti KPK.
“Sayangnya pemerintah lebih memilih untuk melemahkan pemberantasan korupsi daripada pemperkuatnya,” kata dia.
Kurnia menambahkan bahwa hingga kini belum ada regulasi yang mengatur perampasan aset, baik di Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) ataupun Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Kalau Undang-Undang Tipikor, kata dia, perampasan aset bisa dilakukan seandainya terdakwa divonis lepas tapi ada kerugian keuangan negara atau tersangka itu meninggal dunia.
“Itu baru bisa digugat secara perdata, tapi prosesnya itu sangat lama, titik tekannya kan itu prosesnya sangat lama, penegak hukum tidak punya kuasa untuk menindak oknum-oknum yang sulit untuk diproses hukum,” kata Kurnia.
“Sehingga RUU perampasan aset ini jadi sebuah inisiasi yang penting dan ini sudah lazim dikenal di negara-negara luar misalnya Australia, Filipina ataupun Amerika Serikat,” ucap dia.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyambut baik usulan agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 di DPR.
Baca juga: PPATK Minta Pemerintah Dorong RUU Perampasan Aset Masuk Prolegnas Prioritas
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, jika sudah disahkan menjadi undang-undang, aturan hukum tersebut akan memberikan efek positif terhadap upaya pemulihan kerugian negara (asset recovery).
"Dengan menjadi UU maka akan memberikan efek dan manfaat positif bagi dilakukannya asset recovery dari hasil tipikor (tindak pidana korupsi) maupun TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang)," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri, dalam keterangan tertulis, Selasa (16/2/2021).
Menurut Ali, KPK memandang penegakan hukum tindak pidana korupsi tidak hanya terbatas pada penerapan sanksi pidana penjara saja.
Namun, penegakan hukum juga harus memberikan efek jera bagi para koruptor maupun pelaku TPPU, yakni melalui perampasan aset hasil korupsi.
“ Perampasan aset dari para pelaku berbagai tindak pidana korupsi dan TPPU dapat memberikan pemasukan bagi kas negara yang bisa digunakan untuk pembangunan dan kemakmuran rakyat,” kata Ali.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.