"MASYARAKAT harus lebih aktif menyampaikan kritik.”
Kalimat ini merupakan penggalan dari pernyataan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat memberi sambutan pada Laporan Akhir Tahun Ombudsman RI, Senin (8/2/2021) lalu. Sebelumnya di Hari Pers Nasional, Jokowi juga menyinggung soal ruang diskusi dan kritik.
Pernyataan mantan Wali Kota Solo ini ditanggapi beragam. Sebagian kalangan menilai, pernyataan Jokowi tersebut bertolak belakang dengan kondisi kebebasan berekspresi dan kualitas demokrasi Indonesia belakangan ini.
Pasalnya, di era Jokowi ini banyak aktivis dan tokoh yang aktif melempar kritik ditangkap dan ditahan polisi. Jokowi seolah menutup mata dengan berbagai kasus pembungkaman kebebasan berpendapat yang selama ini terjadi.
Merosotnya Indeks Demokrasi Indonesia seolah menegaskan menurunnya kualitas demokrasi di negeri ini. Menurut laporan tahunan The Economist Intelligence Unit, indeks demokrasi Indonesia berada pada peringkat ke-64 dunia.
Dengan skor 6,8, posisi Indonesia tertinggal dari Malaysia, Timor Leste dan Filipina. Ini merupakan yang terendah selama 14 tahun terakhir.
Dalam laporannya, EIU mencatat lima instrumen penilaian indeks demokrasi. Yakni proses pemilu dan pluralisme, fungsi pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil. Skor untuk kebebasan sipil paling rendah ketimbang empat instrumen lainnya, yakni 5.59.
Merosotnya kualitas demokrasi Indonesia juga terlihat dari hasil survei Indikator Politik Indonesia yang dilakukan pada Oktober 2020. Hasil survei tersebut menunjukkan mayoritas masyarakat setuju bahwa mereka makin takut menyampaikan pendapat.
Sebanyak 47,7 persen responden menyatakan agak setuju bahwa warga makin takut menyatakan pendapat. Kemudian sebanyak 21,9 responden menyatakan warga sangat setuju makin takut menyatakan pendapat.
Hasil survei ini juga menunjukkan bahwa masyarakat merasa semakin sulit untuk berdemonstrasi guna menyampaikan aspirasi. Selain itu, hasil survei juga menunjukkan mayoritas publik setuju bahwa aparat makin bertindak semena-mena terhadap masyarakat yang berbeda pendapat.
UU Informasi Teknologi dan Elektronik atau ITE dan buzzer pun menjadi sorotan menanggapi pernyataan Jokowi. Selama ini UU ITE kerap dipakai untuk menjerat pihak-pihak yang mengkritik pemerintah.
Mengutip catatan KontraS, hingga Oktober 2020, ada sebanyak 10 peristiwa dan 14 orang yang diproses karena mengkritik Presiden Jokowi. Lalu dari 14 peristiwa, 25 orang diproses dengan obyek kritik Polri, dan 4 peristiwa dengan 4 orang diproses karena mengkritik Pemda. Mereka diproses dengan menggunakan surat telegram Polri dan UU ITE.
Selain UU ITE, aktivis dan mereka yang rajin mengrkitik pemerintah juga akan menjadi sasaran serangan buzzer di media sosial.
Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri 1999-2000 Kwik Kian Gie bahkan mengaku, saat ini ia takut menyampaikan kritik karena akan langsung diserang para buzzer. Alih-alih merespons kritik dengan argumen yang kuat, para buzzer ini malah menyerang pribadi.
Pernyataan Jokowi yang meminta dikritik berbuntut panjang. Sebagian kalangan menilai, jika Jokowi serius dengan pernyataannya, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah merevisi UU ITE.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.