Menteri Komunikasi dan Informatika saat itu, Rudiantara, meyakini tidak akan ada lagi kriminalisasi kebebasan berpendapat setelah revisi UU ITE tersebut.
Rudiantara melanjutkan, revisi tersebut akan memberikan kepastian pada masyarakat. Salah satunya terkait Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang kerap menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
"Dengan revisi ini, tidak ada multitafsir. Karena tuntutan hukum dari maksimal enam tahun menjadi maksimal empat tahun. Jadi tidak bisa ditangkap baru (kemudian) ditanya, karena semuanya harus ada proses. Lalu deliknya adalah delik aduan," kata Rudiantara pada 2016 silam.
Baca juga: Wacana Revisi UU ITE, Pimpinan DPR: Kita Jenuh dengan Pasal Pencemaran Nama Baik dan Penghinaan
Dalam kesempatan berbeda pada 2015 lalu, dikutip dari situs Kominfo.go.id, Rudiantara pernah menyampaikan bahwa Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tidak mungkin dihapus.
Menurut Rudiantara, pasal tersebut sebenarnya memiliki peran besar dalam melindungi transaksi elektronik khususnya di dunia maya.
Namun, hanya saja dalam penerapannya sering terjadi kesalahan.
"Yang salah bukan Pasal 27 Ayat 3-nya, melainkan adalah penerapan dari Pasal 27 Ayat 3 tersebut," ujar dia.
Baca juga: UU ITE Dinilai Jadi Alat Kriminalisasi, Fraksi PKS Dukung Revisi UU ITE
Selain mengurangi ancaman hukuman terkait penghinaan dan/atau pencemaran nama baik di atas, setidaknya ada tiga perubahan signifikan lainnya dalam UU ITE hasil revisi tahun 2016.
Perubahan pertama, adanya penambahan pasal hak untuk dilupakan atau "the right to be forgotten".
Hak tersebut ditambahkan pada Pasal 26. Intinya, tambahan pasal ini mengizinkan seseorang untuk mengajukan penghapusan berita terkait dirinya pada masa lalu yang sudah selesai, tetapi diangkat kembali.
Salah satu contohnya, seorang yang sudah terbukti tidak bersalah di pengadilan, berhak mengajukan permintaan agar berita pemberitaan tentang dirinya yang menjadi tersangka dihapus.
Baca juga: YLBHI Harap Keinginan Jokowi Revisi UU ITE Bukan Retorika Politik
Perubahan kedua, adanya penambahan ayat baru pada Pasal 40 yang memberikan hak bagi pemerintah untuk menghapus dokumen elektronik yang terbukti menyebarkan informasi melanggar undang-undang.
Informasi yang dimaksud terkait pornografi, SARA, terorisme, pencemaran nama baik, dan lainnya.