JAKARTA, KOMPAS.com – Undang-undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tengah ramai diperbincangkan lantaran dinilai menjadi salah satu sumber masalah di era reformasi.
Pasalnya, UU ITE kerap dijadikan tameng bagi pihak yang dikritik. Mereka yang merasa tersinggung saat dikritik biasanya menggunakan UU ITE untuk melaporkan pihak yang mengkritik ke polisi.
UU ITE kembali menjadi perbincangan hangat usai Presiden Joko Widodo meminta masyarakat lebih aktif menyampaikan kritik kepada pemerintah dalam peluncuran laporan tahunan Ombudsman RI Tahun 2020 pada Senin (8/2/2021).
Baca juga: Pengamat Sebut Pemerintah Perlu Dialog untuk Merevisi UU ITE
Permintaan Jokowi tersebut ditanggapi sinis oleh sekelompok masyarakat dan aktivis. Mereka menilai kritik yang disampaikan kerap dipermasalahkan karena melanggar UU ITE.
Jokowi lantas meminta DPR untuk merevisi UU ITE agar tak digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat yang mengkritik.
Salah satu pasal yang menjadi sorotan ialah Pasal 27 ayat 3 yang berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik".
Kendati demikian jauh sebelum pemerintahan Jokowi, UU ITE juga kerap memakan korban lantaran dipakai sejumlah pihak yang tidak terima dengan kritikan.
Kompas.com merangkum perjalanan UU ITE yang kerap memakan korban dari masa ke masa. Berikut paparan kasus besar yang menggunakan jerat UU ITE yang menyita perhatian masyarakat:
Baca juga: Soal Revisi UU ITE, Waketum Demokrat: Jika Jokowi Serius, Wujudkan Segera
1. Prita Mulyasari
Penggunaan UU ITE yang membuatnya gempar pertama kali terjadi pada kasus yang menimpa Prita Mulyasari pada 2008.
Prita mulanya memeriksakan kesehatannya di RS Omni Internasional, Tangerang. Namun setelah pemeriksaan ia mengeluhkan pelayanan di RS Omni Internasional lewat milis.
Curhatan Prita soal keluhan pelayanan RS Omni Internasional pun tersebar. Pihak RS Omni akhirnya menggugat Prita. Prita didakwa melanggar Pasal 27 ayat 3 UU ITE.
Majelis hakim PN Tangerang memutuskan Prita tak bersalah. Namun Jaksa Penuntut Umum (JPU) melakukan kasasi dan kasasinya dikabulkan oleh Mahkamah Agung (MA) sehingga Prita diputus bersalah pada 2011.
Prita kemudian mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kemudian MA pun mengabulkan PK yang diajukan Prita pada 2012. Prita pun resmi bebas dari jerat pidana akibat UU ITE.
Baca juga: Soal Revisi UU ITE, Anggota DPR Sebut Presiden Tangkap Kegelisahan Masyarakat
2. Muhammad Arsyad
Arsyad yang merupakan aktivis antikorupsi juga pernah terjerat UU ITE lantaran dituduh mencemarkan nama baik politisi Golkar Nurdin Halid.
Pelaporan Arsyad ke polis bermula dari status di BlackBerry Mesanger miliknya yang berbunyi “No fear Nurdin Halid Koruptor, jangan pilih adik koruptor”.
Seperti diketahui, Nurdin pernah divonis terlibat kasus korupsi dalam distribusi pengadaan minyak goreng pada 2007.
Arsyad lalu dilaporkan oleh adik Nurdin Halid yang juga merupakan anggota DPRD Kota Makassar.
Arsyad mendekan di tahanan selama tujuh hari. Ia mendapat penangguhan penahanan setelah kasusnya menjadi perbincangan dan mendapat bantuan advokasi dari sejumlah kelompok masyarakat.
Baca juga: Jokowi Wacanakan Revisi UU ITE, Safenet Nilai Ini Momentum yang Baik
Majelis hakim PN Makassar pun memutuskan jaksa tak bisa membuktikan tindak pidana yang dilakukan Arsyad dengan mendakwanya lewat UU ITE. Arsyad kemudian bebas dari jerat pidana UU ITE.
3. Ervani Handayani
Pada 2014, Ervani ditetapkan sebagai tersangka setelah curhat di facebook lantaran suaminya yang bekerja sebagai petugas keamanan di Jolie Jogja Jewellery menolak untuk dimutasi ke Cirebon.
Suami Ervani menolak karena tidak ada perjanjian mutasi di kontrak kerja. Dalam curhatannya di facebook, Ervani menyebut seorang supervisor yang bernama Ayas sebagai orang yang tidak baik.
Ayas yang mengetahui namanya disebut Aryani sebagai pihak yang tidak baik di facebook melaporkan Ervani. Ervani kemudian didakwa mencemarkan nama baik sesuai Pasal 27 ayat 3 UU ITE.
Namun majelis hakim PN Bantul memutuskan Ervani tak bersalah dan bebas murni pada Januari 2015.
4. Fadli Rahim
Pada November 2014, Fadli yang merupakan seorang PNS di Kabupaten Gowa dilaporkan ke polisi karena dianggap menghina dan mencemarkan nama baik Ichsan Yasin Limpo yang kala itu menjabat sebagai Bupati Gowa Sulawesi Selatan.
Baca juga: Ketua Komisi I: Kami Sambut Baik Usulan Presiden Jokowi, Siap Bahas Kembali UU ITE
Awalnya, Fadli membagikan kritikan lewat grup aplikasi pesan instan Line yang berisi tujuh orang di dalamnya. Dalam kritikan tersebut, Fadli mengungkapkan bahwa Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo berlaku otoriter.
Dalam memerintah, Fadli mengklaim bahwa Ichsan selalu mengedapankan emosi. Kritik itu rupanya membuat Bupati Gowa marah besar sehingga melaporkan Fadli ke polisi. Alhasil, Fadli dikenakan hukuman penjara selama 19 hari dan terancam dipecat dari posisinya sebagai PNS.
6. Baiq Nuril Maknun
Nuril merupakan guru honorer di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Nasib yang dialami Nuril berawal pada tahun 2012 silam. Suatu hari, ia menerima telepon dari Kepala Sekolah berinisial M.
Dalam perbincangan itu, M menceritakan tentang perbuatan asusila yang dilakukan dirinya dengan seorang wanita yang juga dikenal Nuril. Karena merasa dilecehkan, Nuril merekam perbincangan tersebut.
Pada 2015, rekaman itu beredar luas di masyarakat Mataram dan membuat M geram. Nuril kemudian dilaporkan ke polisi karena merekam dan menyebar rekaman tersebut.
Pada 26 September 2018, MA lewat putusan kasasi menghukum Baiq Nuril 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan.
Vonis hukuman itu diberikan karena hakim menilai, Nuril melakukan tindak pidana sesuai dengan Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 UU ITE.
Namun, pada 29 Juli 2019, Presiden Joko Widodo menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) mengenai pemberian amnesti bagi Baiq Nuril Maknun.
Dengan terbitnya amnesti ini, maka Nuril yang sebelumnya divonis Mahkamah Agung (MA) melanggar UU ITE pada tingkat kasasi, bebas dari jerat hukum.
Baca juga: PPP Sepakat UU ITE Perlu Direvisi, Pasal Pencemaran Nama Baik Jadi Sorotan
Sutradara, aktivis, dan jurnalis Dandhy Dwi Laksono ditangkap polisi pada September 2019. Dandy ditangkap lantaran twitnya di twitter dianggap menebarkan kebencian berdasarkan SARA.
Secara spesifik, Dandhy dituding melanggar Pasal 28 Ayat (2) jo Pasal 45A Ayat (2) UU ITE
Berdasarkan penelusuran Kompas.com, pada 23 September 2019, Dandhy memang aktif me-retweet unggahan yang mengangkat soal kisruh di Papua.
Ada juga beberapa twitnya yang khusus membahas soal peristiwa tersebut. Ia juga membuat utas (thread) dengan mengunggah beberapa foto korban yang jatuh dalam kerusuhan Papua.
Dalam sejumlah twitnya tersebut Dandhy menyampaikan kondisi kerusuhan di Papua yang merupakan buntut dari perlakukan rasialis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur.
Baca juga: Dukung Revisi UU ITE, Ketua Fraksi PAN Beri 2 Catatan
Dhandy kemudian ditangkap polisi atas cuitannya tersebut. Empat jam kemudian Dandhy dibebaskan namun masih berstatus tersangka. Hingga kini proses hukum terhadap kasus Dandhy tersebut tak lagi terdengar.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.