JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Azis Syamsuddin menyambut baik rencana pemerintah terkait revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
"Masyarakat diharapkan juga dapat menggunakan media sosial dengan bijak. Diharapkan revisi ini juga tidak melepas niat baik awal hadirnya UU ITE," kata Azis, dalam keterangan tertulis, Selasa (16/2/2021).
Baca juga: UU ITE Dinilai Jadi Alat Kriminalisasi, Fraksi PKS Dukung Revisi UU ITE
Azis mengakui UU ITE masih mencantumkan pasal karet yang kerap dijadikan alat untuk melaporkan pihak yang berseberangan, hanya karena permasalahan kecil di media sosial.
Politisi Partai Golkar itu berharap, UU ITE dapat lebih mempertimbangkan prinsip keadilan, sehingga tidak ada lagi pasal yang multitafsir dan digunakan untuk saling melapor.
Menurut Azis, hal itu penting untuk tetap menjaga demokrasi yang tetap berjalan sesuai harapan dalam menyampaikan pendapat.
"Kita sudah jenuh dengan pasal pencemaran nama baik dan penghinaan, itu saja yang kerap kita dengar jika terjadi pelaporan mengatasnamakan UU ITE ribut di media sosial, itu saja yang dipakai seseorang untuk melaporkan ke kepolisian," kata Azis.
Baca juga: YLBHI Harap Keinginan Jokowi Revisi UU ITE Bukan Retorika Politik
Diberitakan sebelumnya, Jokowi akan meminta DPR untuk merevisi UU ITE apabila implementasi UU tersebut tidak menjunjung prinsip keadilan.
"Kalau Undang-Undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan ya saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi undang-undang ini," kata Jokowi, saat memberikan arahan pada rapat pimpinan TNI-Polri di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/2/2021).
Jokowi bahkan akan meminta DPR menghapus pasal-pasal karet yang ada di UU ITE. Sebab, menurut dia, pasal-pasal ini menjadi hulu dari persoalan hukum.
"Terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak," ujar Jokowi.
Pasal multitafsir
Perkumpulan Pembela Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet) mencatat sejumlah regulasi yang membatasi kemerdekaan berekspresi di Indonesia, antara lain UU ITE, Permenkominfo Nomor 19 Tahun 2014 tentang Situs Internet Bermuatan Negatif, UU Penyadapan, hingga UU Penyiaran.
Koalisi masyarakat sipil juga melaporkan, dalam kurun 2016-2020 UU ITE dengan pasal karetnya telah menimbulkan conviction rate atau tingkat penghukuman 96,8 persen (744 perkara).
Sedangkan, tingkat pemenjaraan dari aturan ini mencapai 88 persen (676 perkara).
Ancaman UU ITE juga kian masif. Berdasarkan survei Katadata Insight Center, aturan ini mampu menjangkau 99 persen pengintaian terhadap pengguna internet di Indonesia.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.