JAKARTA, KOMPAS.com - Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia angkat bicara atas adanya dugaan korupsi terkait pengelolaan uang dan dana investasi di BPJS Ketenagakerjaan yang diselidiki oleh Kejaksaan Agung.
Presiden ASPEK Indonesia Mirah Sumirat menegaskan, pihaknya mendukung Kejaksaan Agung serius dan transparan dalam membongkar tuntas kasus yang merugikan masyarakat, khususnya para pekerja.
"Hal ini menjadi keprihatinan serius dari ASPEK Indonesia dan kami mendukung Kejaksaan Agung," kata Mirah dalam keterangan tertulis, Senin (15/2/2021).
Pengusutan perkara ini, menurut dia, semakin memperkuat dugaan adanya mafia pasar modal yang bergentayangan di Indonesia.
Hal tersebut didasari atas dua skandal mega korupsi sebelumnya yang dinilai mempunyai modus dan pelaku yang serupa.
"Modusnya adalah dugaan tindak pidana korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi. Pelakunya melibatkan pihak dengan latar belakang yang sama, antara lain oknum perusahaan efek atau sekuritas dan oknum manajer investasi," jelasnya.
Baca juga: KSPI Akan Unjuk Rasa di Kantor BPJS Ketenagakerjaan dan Kejagung, Minta Dugaan Korupsi Terus Diusut
Adapun dua kasus sebelumnya adalah kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 16,8 triliun dan kasus korupsi PT Asabri yang merugikan negara sebesar Rp 23,73 triliun.
Mirah melanjutkan, dalam skandal mega korupsi Jiwasraya dan Asabri memunculkan nama yang sama yaitu Benny Tjokrosaputro atau Benny Tjokro yang merupakan Komisaris PT Hanson International Tbk.
"Selain itu, argumentasi dari semua pelaku seragam yaitu kerugian atas risiko bisnis," ujarnya.
Lanjutnya, ASPEK Indonesia juga mendasarkan dugaan adanya mafia pasar modal pada tren melonjaknya laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) di pasar modal.
Mirah membeberkan Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang belum lama ini dirilis.
Data tersebut menunjukkan sampai Desember 2020, transaksi mencurigakan di pasar modal menembus 443 kasus.
"Angka itu melonjak 751,9 persen dibandingkan data 2019 yang hanya mencatatkan 52 kasus transaksi mencurigakan selama tahun tersebut," imbuh Mirah.
Baca juga: Kejagung Periksa 7 Saksi Terkait Dugaan Korupsi BPJS Ketenagakerjaan
Menurut Mirah, pemerintah melalui Kejaksaan Agung, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), PPATK dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu semaksimal mungkin menjalankan kewenangannya.
Hal tersebut perlu dilakukan agar kejahatan yang patut diduga dilakukan oleh kelompok yang terorganisir di pasar modal ini tak lagi terjadi.