JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah membahas revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Revisi tersebut belum rampung karena ada ada beberapa hal yang masih menjadi perdebatan antar fraksi.
Salah satu yang menjadi perdebatan adalah penormalan jadwal pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang awalnya akan dilaksanakan tahun 2024 diubah menjadi 2022-2023.
Beberapa fraksi menginginkan pelaksanaan pilkada serentak tetap dilaksanakan sesuai jadwal yakni tahun 2024.
Baca juga: Revisi UU Pemilu Dinilai Perkuat Kualitas Demokrasi, Wakil Ketua DPR Korpolkam Beberkan Alasannya
Namun ada juga fraksi yang setuju jika jadwal pilkada dinormalkan menjadi tahun 2022 dan 2023.
Melihat wacana tersebut, Pendiri sekaligus peneliti Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay menilai, ada sejumlah kekurangan apabila Pilkada tetap dilaksanakan tahun 2024.
Pertama, kata dia, pelaksanaan pilkada yang berbarengan dengan pemilu nasional akan menambah beban kerja penyelenggara pemilu.
"Nah, kalau ada pemilihan besar semua dijadikan satu, di dalam waktu yang berdekatan, itu sebetulnya akan sangat merepotkan, pekerjaan ya akan sangat sulit," kata Hadar kepada Kompas.com, Senin (8/2/2021).
Baca juga: Sikap Pemerintah dan Parpol Tolak Revisi UU Pemilu Dinilai Mengecewakan
Jika beban kerja terlalu besar, Hadar menyebut, hal itu berpotensi membuat penyelenggara pemilu tidak bisa menjalankannya dengan baik.
Sehingga akan berpengaruh pada kualitas penyelenggaraan pemilu nantinya.
Kekurangan kedua yaitu masyarakat menjadi bingung karena ada banyak pilihan yang harus mereka pilih.
Selain itu, jika dilaksanakan berbarengan dengan pemilu nasional, pemilu daerah akan kehilangan sorotan masyarakat.
"Belum lagi biasanya pemilihan presiden itu akan lebih banyak menarik banyak perhatian," ujarnya.
"Ramenya itu pemberitaan kegiatannya itu pemilihan presiden yang lebih ramai. Sehingga perhatian semua pihak ke arah sana," lanjut dia.
Baca juga: Azis Syamsuddin Sebut Revisi UU Pemilu Penting Guna Perkuat Kualitas Demokrasi
Kekurangan lainya adalah jika pilkada dan pemilu serentak dilaksanakan serentak pada 2024 masyarakat tidak bisa melakukan evaluasi pemerintahan.
Hadar menuturkan, meski pelaksanaan pilkada dan pemilu nasional dilaksanakan di bulan yang berbeda tetap saja tidak cukup waktu untuk melakukan evaluasi.
"Jadi adanya jeda dari satu pemilihan ke yang lain itu bisa memberi ruang bagi pemllih yang punya kedaulatan penentu ini untuk melakukan evaluasi dan memastikan pilihan yang terbaik buat dia," ungkapnya.
Selain itu, Hadar juga menilai, jika pilkada tidak dilaksanakan pada 2022 dan 2023 akan membuat masyarakat tidak bisa mendapatkan haknya untuk memperoleh pemimpin definitif tepat setelah masa jabatan kepala daerah habis.
Baca juga: Dinamika Revisi UU Pemilu: Nasdem dan Golkar Berubah Sikap, Demokrat dan PKS Tetap Mendukung
Ia memahami bahwa masa jabatan yang tengah kosong tersebut bisa diisi oleh penanggungjawab daerah, namun pengisian jabatan tersebut justru berpotensi menimbulkan masalah baru.
"Kepala daerah yang pejabat itu biasanya kepala daerah yang double-double jabatannya misalnya seorang dirjen dia dikasih pejabat di mana," ujarnya.