JAKARTA, KOMPAS.com - Pendiri sekaligus peneliti Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay menilai, ada sejumlah kekurangan apabila pemilihan kepala daerah (Pilkada) tetap dilaksanakan tahun 2024.
Pertama, kata dia, pelaksanaan pilkada yang berbarengan dengan pemilu nasional akan menambah beban kerja penyelenggara pemilu.
"Nah kalau ada pemilihan besar semua dijadikan satu, di dalam waktu yang berdekatan, itu sebetulnya akan sangat merepotkan, pekerjaan ya akan sangat sulit," kata Hadar kepada Kompas.com, Senin (8/2/2021).
Jika beban kerja terlalu besar, Hadar menyebut, hal itu berpotensi membuat penyelenggara pemilu tidak bisa menjalankannya dengan baik.
Sehingga nantinya akan berpengaruh pada kualitas penyelenggaraan pemilu nantinya.
Baca juga: Azis Syamsuddin Sebut Revisi UU Pemilu Penting Guna Perkuat Kualitas Demokrasi
Kekurangan kedua yaitu masyarakat menjadi bingung karena ada banyak pilihan yang harus mereka pilih. Selain itu, jika dilaksanakan berbarengan dengan pemilu nasional, pemilu daerah akan kehilangan sorotan masyarakat.
"Belum lagi biasanya pemilih presiden itu akan lebih banyak menarik banyak perhatian," ujarnya.
"Ramenya itu pemberitaan kegiatannya itu pemilihan presiden yang lebih ramai. Sehingga perhatian semua pihak ke arah sana," lanjut dia.
Kekurangan lainya adalah jika pilkada dan pemilu serentak dilaksanakan serentak pada 2024 masyarakat tidak bisa melakukan evaluasi pemerintahan.
Hadar menuturkan, meski pelaksanaan pilkada dan pemilu nasional dilaksanakan di bulan yang berbeda tetap saja tidak cukup waktu untuk melakukan evaluasi.
"Jadi adanya jeda dari satu pemilihan ke yang lain itu bisa memberi ruang bagi pemllih yang punya kedaulatan penentu ini untuk melakukan evaluasi dan memastikan pilihan yang terbaik buat dia," ungkapnya.
Baca juga: Dinamika Revisi UU Pemilu: Nasdem dan Golkar Berubah Sikap, Demokrat dan PKS Tetap Mendukung
Selain itu, Hadar juga menilai, jika pilkada tidak dilaksanakan pada 2022 dan 2023 akan membuat masyarakat tidak bisa mendapatkan haknya untuk memperoleh pemimpin definitif tepat setelah masa jabatan kepala daerah habis.
Ia memahami bahwa masa jabatan yang tengah kosong tersebut bisa diisi oleh penanggungjawab daerah, namun pengisian jabatan tersebut justru berpotensi menimbulkan masalah baru.
"Kepala daerah yang pejabat itu biasanya kepala daerah yang double-double jabatannya misalnya seorang dirjen dia dikasih pejabat di mana," ujarnya.
"Jadi dia juga tidak bisa fokus biasanya. jadi itu tidak terlalu baik juga sebetulnya. Kecuali darurat betul ya," ucap dia.
Adapun di dalam pembahasan revisi UU Pemilu, terdapat wacana untuk menormalkan jadwal pilkada menjadi tahun 2022-2023 yang awalnya akan dilaksanakan tahun 2024.
Penormalan itu rencananya akan dimasukan dalam revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang tengah dibahas oleh DPR.
Namun kini, beberapa fraksi justru menarik keinginannya untuk melakukan revisi UU Pemilu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.