JAKARTA, KOMPAS.com - Dinamika politik terkait revisi Undang-undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) memasuki babak baru setelah Partai Golkar dan Partai Nasdem mengubah sikapnya.
Partai Golkar dan Partai Nasdem yang sebelumnya mendukung revisi UU supaya pelaksanaan pemilu dan pilkada digelar dalam tahun berbeda kini berbalik arah.
Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh menginstruksikan agar Fraksi Partai Nasdem di DPR tidak melanjutkan revisi UU Pemilu, termasuk mendukung pelaksanaan pilkada serentak di 2024.
Paloh menilai soliditas partai politik dalam koalisi pemerintahan perlu dijaga untuk bahu-membahu menghadapi pandemi Covid-19 dan memulihkan perekonomian.
Baca juga: Pengamat Duga Ada Insentif dari Jokowi kepada Partai yang Tolak Revisi UU Pemilu Dilanjutkan
"Cita-cita dan tugas Nasdem, adalah sama dengan Presiden, yakni untuk kemajuan dan masa depan bangsa yang lebih baik," kata Paloh dalam keterangan tertulis, Jumat (5/2/2021).
Alasan senada diungkapkan Wakil Ketua Umum Partai Golkar Nurul Arifin saat ditanya penyebab perubahan sikap Partai Golkar.
Menurut Nurul, situasi pandemi Covid-19 belum memungkinkan untuk menggelar pilkada pada 2022 dan 2023 sebagaimana diatur dalam draf RUU Pemilu.
"Kami mendukung Pemerintah untuk fokus pada penanganan pandemi Covid dan pemulihan ekonomi," ujar Nurul, Senin (8/2/2021).
Seperti diketahui, salah satu poin perubahan dari revisi UU Pemilu adalah normalisasi jadwal pelaksanaan pilkada dari tahun 2024 menjadi tahun 2022 dan 2023.
Baca juga: Ini Alasan Golkar dan Nasdem Akhirnya Dukung Pemerintah yang Tolak Revisi UU Pemilu
Perubahan sikap Partai Nasdem dan Partai Golkar itu memperpanjang daftar partai politik yang menolak perubahan UU Pemilu.
PDI-P, Gerindra, PKB, PAN, dan PPP sebelumnya telah menyatakan menolak revisi UU Pemilu dan setuju agar pilkada dan pemilu dilaksanakan pada 2024.
Kendati Partai Nasdem dan Partai Golkar berubah sikap, Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera masih dalam posisinya mendukung revisi UU Pemilu.
"Sampai dengan saat ini, kami tetap pada pendirian mendukung revisi UU Pemilu," kata Kepala Badan Komunikasi Strategis Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra, Senin.
Baca juga: Wakil Ketua Komisi II Usulkan Jokowi Terbitkan Perppu jika UU Pemilu Tidak Direvisi
Herzaky mengatakan, Pemerintah dan partai politik semestinya belajar dari pengalaman Pemilu tahun 2019 yang digelar serentak antara pemilihan presiden dan legislatifnya.
Ia mengatakan, pemilu serentak memang meningkatkan partisipasi pemilih tetapi tidak memberi pengaruh positif terhadap pemahaman pemilih.
"Ini ditandai dengan minimnya politik gagasan dan programatik, terutama dalam pileg. Lalu, menguatnya polarisasi, maraknya politik identitas, dan kecenderungan menguatnya pragmatisme," ujar dia.
Senada, Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera juga menilai revisi UU Pemilu perlu diubah karena pemilu dan pilkada yang digelar serentak dinilai banyak ruginya.
"PKS masih istiqomah mendukung revisi RUU Pemilu. Karena banyak mudharat jika semua disatukan di 2024," kata anggota Komisi II DPR tersebut.
Baca juga: Dinamika Revisi UU Pemilu, Baleg Tunggu Keputusan Komisi II
Mardani mengatakan, jika pilkada dan pemilu sama-sama digelar pada 2024, ia khawatir akan ada korban jiwa yang lebih besar dibanding pemilu serentak 2019.
Lalu, informasi terkait kapasitas dan kapabilitas para calon kepala daerah juga diyakini akan lebih memadai bila penyelenggaraan pemilu dan pilkada dipisah waktunya.
"Kian menjauhkan partai dari konstituennya jika cuma sekali dlm lima tahun ada interaksi melalui pemilihan dalam satu tahun. Plus keberadaan ratusan plt (pelaksana tugas) yang berbahaya bagi pelayanan publik," kata dia menambahkan.
Kendati demikian, Demokrat dan PKS sama-sama menyatakan menghormati keputsan Nasdem dan Golkar yang berbalik arah.
"Harapan Partai Demokrat, semoga pertimbangan dalam menolak atau menyetujui pembahasan revisi RUU Pemilu, adalah untuk kepentingan perbaikan kualitas tata kelola pemilu di Indonesia," kata Herzaky.
Menunggu Komisi II
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya mengatakan, pihaknya menunggu keputusan Komisi II DPR terkait dinamika revisi UU Pemilu yang sudah masuk tahap harmonisasi dan sinkronisasi di Baleg.
"Baleg masih berpatokan pada surat Komisi II untuk melakukan harmonisasi dan sinkronisasi. Kalau itu ditarik, itu hak Komisi II tapi Baleg menunggu surat dari pimpinan Komisi II untuk menarik itu," kata Willy.
Baca juga: KPU Sebut Pemilu Borongan 2024 Munculkan Beban Anggaran hingga KPPS
Willy menjelaskan, berdasarkan aturan yang ada, Komisi II sebagai pengusul revisi UU Pemilur dapat menarik usulannya sebelum disahkan dalam rapat paripurna.
Prosedurnya, Komisi II akan bersurat ke Baleg lalu Baleg akan menggelar rapat kerja bersama Pemerintah untuk mengeluarkan RUU tersebut dari program legislasi nasional (Prolegnas).
Ia menambahkan, bisa saja revisi UU Pemilu tetap dibahas tanpa mengubah ketentuan soal jadwal pelaksanaan pilkada yang ditentang oleh sejumlah parpol.
Sebab, revisi UU Pemilu yang sedang bergulir sesungguhnya mengubah dua UU sekaligus yaitu UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
"Kan sekarang RUU mereka itu yang diusulkan ke baleg itu RUU gabungan, apakah itu materi muatannya terbatas saja tidak melibatkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 juga boleh, terserah mereka," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.