JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman menilai, pernyataan Presiden Joko Widodo yang meminta masyarakat aktif menyampaikan kritik dan masukan terhadap pemerintah, tidak satu kata dengan perbuatan.
Pasalnya, ia berpandangan bahwa pemerintah saat ini justru antikritik di mana masyarakat yang melakukan kritik ditangkap dan disangkakan pidana.
"Antikritik, banyak orang yang ditangkap dan dijebloskan ke bui hanya karena kritik pemerintah. Tidak satu kata dengan perbuatan. Omongnya tidak antikritik, tapi membiarkan polisi tangkap mereka yang kritik pemerintah," kata Benny saat dihubungi Kompas.com, Senin (8/2/2021).
Ia melanjutkan, upaya pemerintah untuk membendung kritik dari masyarakat juga tidak hanya menangkap dan menjebloskan ke penjara.
Baca juga: Daftar 5 Menteri Jokowi Paling Kaya Saat Ini
Menurut dia, sikap antikritik pemerintah juga ditunjukkan dari adanya buzzer atau pendengung yang dibuat dengan tugas melakukan perundungan atau bully terhadap mereka yang menyampaikan kritik.
"Akibatnya, rakyat takut menyampaikan kritik," ujarnya.
Benny mengambil contoh sikap antikritik pemerintah yang masih berlanjut hingga sekarang.
Salah satunya adalah sikap pemerintah yang tidak mendengarkan aspirasi masyarakat terkait revisi Undang-Undang (UU) Pemilu.
Dari sikap tersebut, ia menyimpulkan bahwa Presiden Joko Widodo seolah tidak konsisten membangun citra pro rakyat yang telah tersemat selama ini.
"Kalau Presiden konsisten menjadi presiden yang pro rakyat, presiden yang mendengarkan rakyat, maka Presiden Jokowi harus mengoreksi sikapnya yang tidak ingin Pilkada serentak 2022 dan 2023," imbuhnya.
"Pasalnya, rakyat saat ini menghendaki Pilkada dilaksanakan di 2022 dan 2023 agar rakyat mempunyai pemimpin yang dikehendaki rakyat, bukan pemimpin yang didrop dari atas," sambung Benny.
Baca juga: Pigai Curiga Rasialisme Buzzer terhadapnya Dikendalikan Kekuasaan]
Ia mengatakan, Jokowi perlu mengoreksi sikapnya tersebut apabila tetap ingin membangun citra pro rakyat.
Sebab, apabila Pilkada 2022 dan 2023 tidak jadi terlaksana, maka akan ada 270 Kepala Daerah yang ditunjuk Presiden sebagai pelaksana tugas.
Jika ini terjadi, lanjutnya, akan timbul persepsi bahwa elite politik tukar menukar kepentingan sehingga menyebabkan Pilkada 2022 dan 2023 ditiadakan.
"Konspirasi dan tukar menukar kepentingan akan kental terjadi di sini, dan tentu saja peluang abuse of power akan terjadi," jelasnya.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.