JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Aisah Putri Budiatri menilai, dalam kajian LIPI, Pemilu tingkat nasional dan daerah sebaiknya tidak dilakukan serentak.
Perlu ada jeda waktu dua sampai tiga tahun.
"Karena seharusnya itu dipisah. Pemilu nasional dalam konteks ini Pilpres dan Pileg, itu berjeda dua sampai tiga tahun dengan Pilkada dan juga Pileg daerah DPRD," kata Aisah dalam diskusi daring yang digelar PARA Syndicate bertajuk "Isu Reshuffle, Pilkada, Kudeta Demokrat: Bola Panas Istana", Jumat (5/2/2021).
Aisah melanjutkan, jeda dua sampai tiga tahun itu diperlukan agar publik dapat mengevaluasi kinerja Kepala Daerah maupun anggota legislatif daerahnya.
Baca juga: Soal Revisi UU Pemilu, Pimpinan Komisi II DPR: Kita Tersandera dengan Isu Keserentakan Pilkada
Jika kinerja mereka baik, kata dia, maka publik kemungkinan akan memilih ulang partai politik tersebut dalam pemilu tingkat nasional.
"Tapi ketika dia jelek, maka akan dikoreksi dan kemudian bisa jadi ini celah untuk para konstituennya itu memilih partai lain yang dianggap kinerjanya lebih baik," terangnya.
Oleh karena itu, Aisah menuturkan, LIPI memiliki tujuan agar Pemilu digelar terpisah antara nasional dan daerah dengan membuat jeda dua sampai tiga tahun.
Tujuannya semata-mata agar publik dapat mengevaluasi kinerja para kepala daerah atau anggota legislatif daerah yang mereka pilih.
Baca juga: Netfid Harap DPR Tak Revisi UU Pemilu atas Kesepakatan Politik Fraksi-fraksi
Di sisi lain, Aisah mengusulkan seharusnya tidak ada presidential threshold sebesar 20 persen dalam Pilpres.
Menurutnya, adanya ambang batas mensyaratkan kandidat yang punya kapasitas terpaksa mengumpulkan dukungan partai.
"Padahal kita tahu, partai politik saat ini oportunistik atau pragmatis. Jangka pendek melihatnya," imbuh dia.
Hal tersebut yang menurutnya, telah menyebabkan banyak partai politik akhirnya melakukan transaksi atau politik "dagang sapi" dengan kandidat Presiden.
Aisah berpendapat, politik tersebut dapat diminimalisasi dengan menghapuskan presidential threshold.
Baca juga: Akui Beban Berat jika Pilkada 2024, KPU Usulkan Penyelenggaraan Pemilu Dipisah
Namun, ia mengatakan perlu ada aturan konvensi mengenai partai politik yang tertuang dalam Undang-undang (UU) Pemilu.
"Jadi partai politik diwajibkan melakukan pemilihan partai secara sistematis, terbuka, dengan prosedur yang jelas, mekanisme yang demokratis. Jadi, terkait dengan aturan konvensi ini harus ada dalam UU, dan itu harus ada di dalam satu paket yang sama dengan aturan Pemilu," katanya.
Ia menilai, hal ini dapat dilakukan dengan merevisi UU Pemilu yang ada. Terlebih, lanjut dia, RUU Pemilu termasuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021.
Belakangan, draf sementara revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menjadi sorotan.
Baca juga: KPU: Idealnya UU Pemilu Disahkan 2,5 Tahun Sebelum Pemilu Dimulai
Salah satunya mengenai ketentuan pelaksanaan pemilihan kepada daerah (Pilkada) serentak.
Sembilan Fraksi di DPR terbelah dengan ketentuan baru dalam draf UU Pemilu tersebut.
Sebagian fraksi ingin melaksanakan Pilkada sesuai amanat Pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10 Tahun 2016, yakni Pilkada serentak digelar November 2024.
Sementara, sebagian fraksi lainnya mendorong pelaksanaan Pilkada sesuai ketentuan di dalam draf revisi UU Pemilu Pasal 731 ayat (2) dan (3), yakni pada 2022 dan 2023.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.